REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono menilai tak perlu lagi membuka penyidikan baru terkait perkara dugaansuap dan gratifikasi fatwa Mahkamah Agung (MA) yang melibatkan Djoko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari. Menurutnya, kasus tersebut sudah selesai setelah majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) menjatuhkan vonis untuk semua terdakwa.
Akan tetapi Kejaksaan Agung (Kejakgung) mempersilakan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan tambahan. "Kalau KPK, misalnya mau mengembangkan atau melanjutkan penyidikan, silakan. Karena ada laporan yang ke sana. Tapi di sini (Jampidsus), salama fakta hukumnya tidak berubah, ini setop," ujar Ali saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejakgung, Jakarta, Senin (5/4).
Kasus suap dan gratifikasi dalam pengurusan fatwa MA sudah pungkas di tingkat pengadilan pertama. Dalam kasus tersebut, Jampidsus menyorongkan tiga terdakwa. Yakni terpidana korupsi Bank Bali 1999 Djoko Tjandra, dan jaksa Pinangki Sirna Malasari serta politikus Nasdem Andi Irfan.
Bulan lalu, hakim PN Tipikor memvonis Pinangki 10 tahun penjara karena terbukti menerima suap, dan gratifikasi senilai Rp 7,5 miliar dari Djoko Tjandra untuk membuat proposal fatwa bebas dari MA.
Sedangkan Andi Irfan, dipenjara enam tahun karena terbukti sebagai perantara, dan pihak yang membuat, dan mempresentasikan proposal itu kepada Djoko Tjandra saat berstatus buronan. Adapun Djoko Tjandra, pada Senin (5/4), hakim PN Tipikor menjatuhkan vonis selama 4,5 tahun penjara atas kasus tersebut, ditambah dengan hukuman, atas perkara serupa terkait penghapusan red notice yang melibatkan dua petinggi di Mabes Polri.
Namun dalam persidangan, sejumlah nama, dan inisial yang terangkum dalam proposal MA tak terungkap. Pun istilah, dan sebutan-sebutan yang mengacu pada pihak-pihak pengatur untuk rencana membebaskan Djoko Tjandra itu. Beberapa inisial yang ada dalam proposal, dan terungkap dipersidangan, di antaranya seperti HA, BR, dan DK. Di persidangan, juga terungkap sejumlah sebutan seperti 'King Maker', 'Bapakku-Bapakmu' yang digunakan dalam komunikasi Pinangki, dan Anita Kolopaking pengacara Djoko Tjandra dalam pengurusan fatwa MA.
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), juga mendesak, dan menyerahkan hasil investagasi mandiri terkait kasus tersebut ke KPK untuk dilakukan penyelidikan. Sedangkan KPK, sejak tahun lalu, pun memang menghendaki agar penyidikan kasus suap, dan gratifikasi dalam pengurusan proposal fatwa bebas MA untuk Djoko Tjandra itu diserahkan ke badan khusus antiriswah tersebut. Akan tetapi, sampai sekarang, KPK belum menerbitkan surat perintah penyidikan terkait kelanjutan kasus itu.
Padahal, Ali Mukartono melanjutkan, semua berkas perkara, dan hasil penyidikan, serta seluruh materi pengungkapan di persidangan sudah diserahkan ke KPK. Karena itu, menurut Ali, jika pun kasus suap, dan gratifikasi fatwa MA, berlanjut ke penyidikan tambahan, itu berada di ranah KPK.
"Dulu KPK kan, pernah minta berkasnya ke kita. Termasuk juga meminta dari Polri. Kita berikan. Selanjutnya, itu silakan KPK untuk menindak lanjuti," ucapnya.