REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri
Digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang yang berujung pada terpilihnya Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat dinilai bukan sekadar peristiwa pengambilalihan kepemimpinan sebuah partai politik. Dalam konteks yang lebih luas, kudeta Demokrat diduga sebagai upaya memuluskan rencana kekuatan politik untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode lewat amendemen UUD 1945.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menduga ada maksud terselubung di balik upaya pengambilalihan Partai Demokrat. Pangi khawatir salah satu tujuannya agar Joko Widodo (Jokowi) dapat menjadi presiden untuk ketiga kalinya.
Pangi merasa prihatin atas pihak Istana yang mengabaikan upaya Moeldoko merebut kepemimpinan Partai Demokrat. Menurutnya, hal itu memunculkan spekulasi di masyarakat akan maksud pihak Istana.
"Kita juga layak bertanya dan patut curiga agenda apa yang sedang didesain pemerintah? Mungkinkah amendemen UUD 1945, terutama kaitannya dengan periode jabatan presiden yang mau ditambah menjadi tiga periode? Apa pun agendanya, kita layak curiga karena cara-cara culas sudah pasti tujuannya akan merugikan kita semua," kata Pangi dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Senin (8/3).
Pangi menilai, manuver politik Moeldoko patut dicurigai bukan hanya demi kepentingan pribadinya. Ia malah menyinggung kemungkinan bahwa Moeldoko cuma sekadar alat guna mencapai tujuan utama.
Baca juga : In Picture: DPP Partai Demokrat Gugat Oknum Penggerak KLB
"Apakah dengan langkah sembrono dan ugal-ugalan itu Moeldoko mau jadi calon presiden 2024? Atau beliau melakukan itu semua atas restu Istana dan Moeldoko hanya pion untuk memuluskan ambisi politik yang sedang berkuasa?" sindir Pangi.
Dalam sebuah diskusi daring pada Kamis (12/3), politikus Partai Gerindra Arief Poyuono juga menyebut soal kemungkinan tiga periode masa jabatan Presiden Jokowi. Menurutnya, hal tersebut ditandai dengan dilibatkannya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 lalu.
"Tapi, memang kalau saya melihat ke arah sana untuk tiga periode itu sebenarnya ada wacana ke sana. Test on the water-nya itu sudah terjadi itu di pilkada mantu dan anaknya bagaimana seluruh partai itu bisa mendukung anaknya dan mantunya, hanya ditinggalkan dua (partai) sebagai syarat," kata Arief dalam sebuah diskusi daring, Kamis (11/3).
In Picture: Demokrat KLB akan Adukan AHY ke Polisi
Menurutnya, peluang Jokowi untuk merasakan masa jabatan presiden menjadi tiga periode sangat terbuka. Sebab, ia menambahkan, hampir seluruh partai politik kini berada dalam kekuasan Jokowi.
"Semua alatnya Jokowi itu ada untuk melakukan, mengubah menjadi tiga periode. Baik di media sosialnya, pasukan media sosialnya, parpolnya sudah ada di parlemen," tuturnya.
Eks wakil ketua umum Partai Gerindra itu menyerahkan kembali keputusan untuk mengubah masa jabatan presiden kepada Jokowi. Namun, ia meyakini Jokowi tidak akan setuju terkait wacana tersebut.
Baca juga : Demokrat Nilai Kubu KLB Hina Menkumham
"Jadi, menurut saya, pada akhirnya ini bergantung pada seorang Jokowi apakah dia emang kesemsem untuk tiga periode atau tidak karena semua alatnya, semua medianya, Jokowi bisa melakukan untuk mengubah masa jabatan presiden yang terpilih sebagai presiden menjadi tiga kali," ungkapnya.
Adapun, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa godaan untuk memperpanjang masa jabatan presiden merupakan godaan tertinggi sistem presidensial. Setidaknya, hal tersebut pernah terjadi pada dua presiden Indonesia terdahulu, Sukarno dan Soeharto.
Adanya fakta sejarah tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa hal yang sama juga menggoda Jokowi saat ini.
"Bukan tidak mungkin godaan yang sama kemudian mengalir ke diri Presiden Jokowi," kata Feri dalam sebuah diskusi, Kamis (11/3).
Lebih lanjut Feri menjelaskan, godaan tersebut mungkin saja diambil Jokowi mengingat Istana kerap mengendalikan banyak hal yang menjadi kritik publik luas. Jokowi bersama koalisinya dianggap bisa mengantisipasi kritik publik, seperti soal UU KPK, KUHP, dan yang terbaru Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Apa saja kritik publik, kekuatan politik sebesar apa pun ujungnya mampu dikendalikan oleh pemerintah. Ketika itu saya pikir sudah jadi pemahaman di sekeliling presiden bahwa presiden mampu mengendalikan banyak hal," ungkapnya.
Selain itu, Feri menambahkan, godaan untuk memperpanjang jabatan presiden menjadi tiga periode tidak hanya milik Jokowi, tetapi juga bisa datang dari orang-orang di lingkaran Istana yang ingin melanggengkan kekuasaan. Menurutnya, orang-orang di sekitar Jokowi dinilai bisa memengaruhi Jokowi agar mau melanjutkan kepemimpinannya menjadi tiga periode dengan menyampaikan berbagai alasan logis.
"Kalau jadi tiga periode, dipastikan akan ada banyak hal yang dilakukan oleh kelompok presiden saat ini. Mungkin setelah tiga periode akan ada bicara empat periode karena kekuasaan itu selalu menggoda yang kemudian tidak akan luput dari Presiden Jokowi dan orang-orang di lingkarannya untuk tergoda," ucapnya.
Baca juga : Demokrat AHY Bantah Pecat 200 Ketua DPC Seperti Klaim Jhonny
Selain inkonstitusional, Feri mengatakan, memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode hanya akan membuat regenerasi poltik menunggu dengan jarak yang panjang. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 menyebut bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama di dalam pemerintahan.
"Jangan sampai presidennya itu-itu terus dan konstitusinya berbeda dari prinsip yang dikehendaki undang-undang dasar," kata dia.