Rabu 31 Mar 2021 04:07 WIB

Dubes Australia Tuding China Bersikap Pendendam

Dubes Australia di Beijing Tuding China Bersikap Pendendam

Red:
Dubes Australia Tuding China Bersikap Pendendam
Dubes Australia Tuding China Bersikap Pendendam

Duta Besar Australia di Beijing Graham Fletcher menuding tindakan ekonomi yang dilakukan China terhadap Australia setahun terakhir sebagai sikap "pendendam".

Departemen Luar Negeri Australia tadi malam menyatakan perdagangan dengan China telah anjlok dalam hampir semua sektor, dan tinggal ekspor biji besi yang menopang neraca perdagangan yang kuat.

Dalam sembilan bulan terakhir, pemerintah China telah menarget beberapa sektor industri Australia termasuk jelai, batu bara, kayu, dan lobster - saat mencoba memaksa Canberra untuk mengalah atas berbagai sengketa.

Belum ada sanksi dagang baru tahun ini, meskipun kalangan industri yakin tarif impor anggur Australia yang pertama kali diumumkan China tahun lalu akan diterapkan dan mungkin dinaikkan dalam beberapa hari ini.

Duta Besar Australia untuk China Graham Fletcher menyampaikan pandangan tegas tentang perilaku China tersebut saat berbicara dengan kalangan pengusaha Australia melalui tautan video dari Beijing.

"Saya tidak yakin China menyadari kerusakan yang terjadi, baik di Australia dan dunia internasional," kata Dubes Graham dalam forum Dewan Pengusaha China Australia.

"China telah terbukti sangat tidak dapat diandalkan sebagai mitra dagang dan bahkan bersikap pendendam," kata Dubes Graham.

Komentar blak-blakan dari Dubes Graham ini ramai diberitakan oleh surat kabar Australia.

Ia juga memperingatkan pengusaha Australia yang terlalu bergantung pada pasar China dapat terkena kampanye tindakan ekonomi yang dijalankan pemerintah.

"Anda harus membayangkan bahwa, secara tak terduga, Anda mungkin kehilangan pasar China tanpa alasan pasti selain karena Beijing memutuskan untuk mengirimkan pesan tertentu ke Canberra," katanya.

"Nah, itu situasi yang sangat tidak disukai, tapi sejujurnya kita berada dalam situasi seperti itu sekarang," tambah Dubes Graham.

Dia menyebut hukuman dagang seperti itu telah menimbulkan "simpati" untuk Australia dan kecaman terhadap China di seluruh dunia.

"Kita menerima banyak simpati dan dukungan diam-diam dari berbagai negara yang tidak kita duga. Mereka menyampaikan, kami juga tidak ingin berada dalam situasi di mana China berperilaku seperti ini dan mampu mengatur agenda,'' ujarnya.

Bukan tentang Australia semata

Menanggapi pernyataan Dubes Graham, Jeffrey Wilson dari Perth USAsia Centres mengatakan Australia sedang mencari solusi multi-lateral, bukan bilateral, untuk menyelesaikan sengketa dagang dengan China.

"Masalah perdagangan Australia-China bukan lagi hanya masalah Australia," katanya kepada ABC.

"Karena China telah menerapkan berbagai sanksi ke negara lain - termasuk Uni Eropa dan Inggris - menjadi jelas bahwa 'diplomasi sanksi' sekarang menjadi bagian dari perangkat diplomatik globalnya," urai Jeffrey.

"Seperti pernyataan AS di KTT Anchorage, Pemerintahan Biden bermaksud untuk menangani dan menolak perilaku China seperti ini," ujarnya.

Jeffrey menambahkan, dengan menglobalisasi permasalahan ini, Austalia berada dalam posisi lebih baik untuk bernegosiasi dengan China.

Perdana Menteri Scott Morrison sendiri secara tidak langsung menanggapi pernyataan Dubes Graham, namun menekankan pada dukungan yang diterima Australia dari negara-negara demokrasi lainnya.

"Kami jelas menghadapi permasalahan sulit dalam hubungan itu. Kami sangat menghargai dukungan yang kami terima dari negara demokrasi liberal di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat," katanya.

"Kami selalu ingin mengatasi hal ini, tapi meskipun perdagangan di Australia sangat besar, kami tak memperdagangkan siapa kami dan tidak pernah mempertukarkan nilai-nilai yang kami anut," ujar PM Morrison.

Kemarin, Menlu AS Antony Blinken melontarkan kecaman ke Beijing atas "tindakaan pemaksaan ekonomi terang-terangan terhadap Australia."

Ia menyebut perilaku seperti itu sebagai contoh ancaman yang semakin mendesak atas kebangkitan rezim otoriter.

Sementara itu, para pemimpin AS berjanji untuk meningkatkan persaingan dengan China setelah Pertemuan Anchorage yang berlangsung sengit.

Presiden Joe Biden menyatakan pertarungan antara dua kekuatan ini merupakan simbol dari permasalahan yang lebih besar, yaitu pertarungan antara "otokrasi dan demokrasi".

"Ini pertarungan antara kegunaan demokrasi di abad ke-21 dibandingkan dengan otokrasi," kata Presiden Biden.

"Kita harus membuktikan bahwa demokrasi berhasil," tambahnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement