Kamis 01 Apr 2021 02:15 WIB

Pengacara Sebut Suu Kyi Tampak Sehat

Suu Kyi ditangkap oleh militer sejak 1 Februari lalu.

 Demonstran memegang plakat dan spanduk yang menyerukan pembebasan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi yang ditahan, ketika mereka memblokir jalan selama protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Rabu (17/2).
Foto: EPA-EFE/LYNN BO BO
Demonstran memegang plakat dan spanduk yang menyerukan pembebasan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi yang ditahan, ketika mereka memblokir jalan selama protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Rabu (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPIWDAY -- Pemimpin Myanmar yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, tampak dalam kondisi sehat. Penampakan Suu Kyi terlihat selama pertemuan melalui video pada Rabu (31/3), kata pengacaranya.

Peraih Penghargaan Nobel yang telah ditahan sejak militer merebut kekuasaan itu ingin bertemu dengan pengacara secara langsung. Ia sebenarnya tidak setuju untuk melakukan diskusi luas melalui video di hadapan polisi, ujar pengacara Min Min Soe kepada Reuters melalui telepon.

Baca Juga

"Amay terlihat sehat, warna kulitnya bagus," kata Min Min Soe, mengacu pada istilah lokal yang berarti "ibunda" untuk menyebut Suu Kyi. Selama konferensi video tersebut, Suu Kyi hanya membahas kasus hukum yang dituduhkan kepadanya.

Suu Kyi (75 tahun) ditangkap pada hari yang sama ketika militer merebut kekuasaan pada 1 Februari lalu. Ia menghadapi beberapa dakwaan, di antaranya adalah mengimpor enam radio genggam secara ilegal dan melanggar protokol penanganan virus corona.

Dalam dua konferensi pers baru-baru ini, militer juga menuduhnya melakukan penyuapan. Pengacara Suu Kyi mengatakan tuduhan itu dibuat-buat dan menganggap tuduhan penyuapan sebagai lelucon.

Sidang berikutnya untuk kasus Suu Kyi adalah pada Kamis (1/4). Militer merebut kekuasaan dengan mengatakan bahwa pemilu November tahun lalu, yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi, telah diwarnai kecurangan meskipun komisi pemilihan mengatakan pemungutan suara telah dilaksanakan secara adil.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak aturan militer diberlakukan kembali setelah satu dekade negara itu melangkah menuju demokrasi. Sejauh ini, sedikitnya 521 warga sipil tewas dalam unjuk rasa anti kudeta.

Sebanyak 141 di antara korban jiwa itu meninggal dunia pada Sabtu (27/3), hari paling berdarah selama dua bulan kerusuhan, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Pertempuran juga terjadi antara tentara dan pemberontak etnis minoritas di daerah perbatasan. Para pengungsi yang lari menyelamatkan diri dari kerusuhan itusedang mencari perlindungan di negara-negara tetangga.

Ada keprihatinan yang berkembang di banyak negara tentang prospek Myanmar, yang tidak ada tanda-tanda untuk keluar dari krisis. Junta Myanmar belum mengambil tawaran dari negara-negara tetangganya di Asia Tenggara untuk membantu menemukan solusi.

Amerika Serikat pada Selasa (30/3) memerintahkan para pegawai pemerintah AS dan anggota keluarga mereka untuk meninggalkan Myanmar karena kekhawatiran akan kerusuhan sipil. Polisi dan juru bicara junta Myanmar tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentar.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement