REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Paspor vaksin virus corona palsu dijual secara daring seperti "kacang goreng" dalam penipuan yang berkembang pesat yang telah membuat khawatir pihak berwenang di berbagai negara. Hal itu karena negara-negara bertaruh pada dokumen paspor vaksin itu untuk menghidupkan kembali perjalanan dan ekonomi mereka, kata para ahli keamanan dunia maya.
Dari Islandia hingga Israel, sejumlah negara telah mulai mencabut pembatasan perjalanan dan penguncian bagi orang-orang yang dapat membuktikan bahwa mereka telah divaksin. Para pelancong diizinkan mengunjungi tempat-tempat rekreasi atau melakukan perjalanan lintas batas jika mereka menunjukkan surat-surat tanda telah divaksin.
"Orang-orang mencoba mendapatkan izin itu dengan membuat dokumen palsu, yang pada dasarnya membahayakan nyawa orang lain," kata Beenu Arora kepada Thomson Reuters Foundation dalam sebuah wawancara daring.
Arora adalah pendiri perusahaan intelijen dunia maya bernama Cyble."Kami telah melihat ratusan situs web di web gelap tempat dokumen-dokumen palsu ini dijual ... dengan harga sangat murah," katanya.
Web gelap adalah bagian dari internet yang berada di luar jangkauan mesin pencari, di mana sebagian besar penggunanya anonim dan sebagian besar pengguna melakukan transaksi atau membayar dengan cryptocurrency, seperti bitcoin. Cryptocurrency adalah mata uang digital di mana transaksi diverifikasi dan catatan disimpan oleh sistem desentralisasi menggunakan kriptografi, bukan oleh otoritas terpusat.
Arora menyebutkan bahwa sertifikat vaksinasi palsu dapat dibeli secara daring hanya dengan harga 12 dolar AS (sekitar Rp 175 ribu). Dia menambahkan bahwa jumlah daftar penjual sertifikat palsu itu telah menjamur sejak pertama kali muncul pada akhir Februari. Oded Vanunu dari perusahaan keamanan dunia maya Check Point mengatakan para peneliti di perusahaan tersebut telah menemukan banyak iklan web gelap yang menawarkan dokumen sertifikat vaksinasi palsu yang konon diterbitkan di Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara lain.
"Ada permintaan besar untuk sertifikat palsu itu," kata Vanunu.