REPUBLIKA.CO.ID, BAGO CITY -- Aparat keamanan Myanmar dilaporkan menggunakan mortir untuk menjatuhkan peluru peledak kepada pengunjuk rasa. The Irrawaddy melaporkan militer menargetkan tiga permukiman di Kota Bago pada Jumat (9/4) pagi waktu setempat.
Penggerebekan pagi buta menargetkan area pertempuran utama para pengunjuk rasa di daerah tersebut. Militer dilaporkan telah menembakkan amunisi langsung di samping mortir.
Menurut saksi mata penduduk setempat, lebih dari 20 orang tewas dan beberapa orang lainnya terluka selama serangan tersebut. Beberapa orang juga ditangkap. Namun, media lokal The Irrawaddy belum memastikan angka kematian dan warga terluka dalam serangan tersebut.
Sekira pukul 04.00 pada Jumat, aparat keamanan melepaskan tembakan dengan senjata otomatis. Mereka menargetkan penghalang jalan yang didirikan dengan karung pasir oleh para pengunjuk rasa antikudeta. Hanya anggota tim pembela yang menjaga area saat itu.
Penduduk mengatakan bahwa pasukan rezim menyerbu tiga distrik, yakni Shinsawpu, Hmawkan, dan Nantawyar yang merupakan tempat demonstrasi antirezim diadakan setiap hari. Dalam video yang merekam penyerangan, terdengar beberapa suara tembakan, termasuk tembakan senjata otomatis. Video lain menunjukkan seorang pria dikejar dan ditembaki belasan tentara saat dia berlari untuk melarikan diri dari penangkapan.
Penduduk mengatakan, mereka mendengar lima ledakan amunisi berat selama serangan rezim. Sebuah foto juga memperlihatkan ekor cangkang mortir yang ditemukan warga.
Jumat pagi, semua pintu masuk ke tiga distrik diblokir dengan garis polisi setelah sekitar 250 pasukan rezim dikerahkan di daerah tersebut. Orang tidak diizinkan keluar atau memasuki area.
Seorang anggota serikat mahasiswa Universitas Bago mengatakan bahwa pasukan memaksa warga untuk menghilangkan penghalang jalan di daerah tersebut. "Di tengah pembunuhan itu, kami akan terus berjuang sampai akhir rezim," kata mahasiswa itu.
Hingga Kamis (8/4), kelompok pemantau lokal, the Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), mencatat sekira 614 orang telah terbunuh oleh militer selama gelombang protes sejak kudeta 1 Februari. Korban tewas itu termasuk para pengamat dan penduduk, termasuk anak-anak, yang terkena tembakan acak oleh pasukan keamanan.
Sementara itu, lebih dari 2.800 orang termasuk pemimpin terpilih, anggota Liga Nasional untuk Demokrasi, komisioner pemilu, seniman, artis, penulis, guru, jurnalis, pengunjuk rasa, dan warga sipil telah ditangkap. Puluhan ribu orang di seluruh Myanmar terus turun ke jalan untuk menunjukkan pembangkangan mereka terhadap rezim militer.