REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) menggagas sebuah film pendek yang mengisahkan perjuangan seorang nenek dan cucunya untuk menyelamatkan daerah mereka dari ancaman krisis air akibat kerusakan lingkungan. Film ini juga mengajak untuk mengelola dan memanfaatkan sampah botol plastik bekas untuk kebutuhan sehari hari termasuk menjadi pot media tanam di halaman rumah.
Danone-AQUA ikut mendukung film edukasi lingkungan berjudul “Nenek Bromo Tengger” hasil karya Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), Imam Pituduh (Gus Imam) ini.
“Gagasannya sebenarnya dari film ini yang pertama terhadap krisis ekologi. Kita melihat dunia ini mengalami ancaman krisis terutama krisis air, di mana pada 2025-2030 dunia akan mengalami krisis air. Kedua adalah krisis ancaman bencana ekologi di Pulau Jawa, terutama di nusantara kita secara umum itu sudah luar biasa. Nah, dari dua landasan itulah kita kemudian ingin begaimana mewujudkan sustainable livelihood dan penopang kehidupan itu,” ujar Gus Imam, Kamis (20/5), dalam siaran persnya.
Dalam pembuatan film ini, Gus Imam mengatakan NU Channel bekerja sama dengan Danone-AQUA. “Kerjasama dengan AQUA itu karena mereka misinya sama dengan kita dalam upaya penyelamatan lingkungan. Khususnya di Bromo, itu kan ada juga program konservasi air mereka di sana,” tukasnya.
Dia mengatakan selain di NU Channel, film ini akan disebarkan di satelit dan jaringan-jaringan PBNU dalam upaya untuk mengedukasi. Menurutnya, penyebaran film ini akan dilakukan melalui metode omni channel, yaitu offline dan online channel.
“Yang online itu melalui jaringan seluruh sosial media dan perangkat satelit dan TV kita. Di luar itu, kita go to market atau GTM , kita edukasi teman-teman anak sekolah dan pesantren kita. Jadi, kita edukasi melalui jejaring yang ada di internal kita. Kita juga sebarkan film ini sampai ke kedutaan-kedutaan seluruh dunia. Karena, message-nya ini bukan hanya untuk Indonesia saja tapi untuk dunia juga,” katanya.
Arif Mujahidin, Corporate Communications Director Danone Indonesia mengatakan bahwa dukungan terhadap pembuatan film edukasi ini karena Danone memiliki semangat One Planet One Health yang seirama dengan tema film tersebut. “Kami percaya bahwa kesehatan manusia berkaitan erat dengan kesehatan planet kita, jadi kampanye dan edukasi untuk menjaga kesehatan planet harus mendapat dukungan dari semua pihak,” kata Arif.
Imam menambahkan air sebagai penopang kehidupan itu tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya tanaman. Itu artinya, tanaman ini harus terus ada sehingga keberadaan air masih tetap ada.
"Jadi, kalau kita berbicara tentang air maka kita harus berbicara hutan. Nah, perintah agamanya, tanamlah pohon itu meski esok kiamat. Jadi meskipun besok ada kiamat, jika di tangan kita ada pohon, itu wajib ditanam. Jadi, itu yang menjadi landasan kenapa film ini harus ada,” tuturnya.
Mengenai alasan kenapa harus dimainkan tokoh nenek-nenek dan cucunya dalam film ini, menurut dia karena itu menggambarkan bahwa orangtua itu yang akan meneruskan ke generasi ke depan untuk cinta terhadap lingkungan. Selain itu, film ini juga menyelipkan pesan bagaimana mengalirkan air dari sumbernya ke hilir dengan baik.
“Artinya, orang tidak boleh hanya berorientasi kepada eksploitasi, tapi bagaimana juga berorientasi kepada konservasi. Nah, ini kan juga kritik sosialnya kepada pemerintah yang harus hati-hati juga ke depan karena over eksploitasi terjadi. Jadi, neraca sumber daya alam dan air harus dikalkulasi ulang, sehingga penyangga kehidupan itu tidak hilang,” tukasnya.
Di luar isu pohon dan air, kata Gus Imam, isu ancaman sampah plastik terhadap lingkungan juga diangkat dalam film ini. Menurutnya, krisis ekologi itu salah satunya karena plastik juga.
“Polusi sampah plastik itu menjadi isu dunia yang kita harus bisa membantu menyelesaikannya. Sampah plastik itu kan tidak bisa diurai oleh bakteri tanah, karenanya kita harus bisa menyelesaikan masalahnya. Apalagi sampah plastik ini belum banyak yang bisa menyelesaikannya. Industri daur ulang saja baru bisa menyerap kira-kira 60 persen sampah plastik ini. Yang 40 persen sisanya kan masih belum terselesaikan,” ujarnya.
Oleh karena itu dalam film ini digambarkan bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan kemasan botol AQUA untuk kebutuhan sehari hari seperti menjadi pot tanaman di halaman rumah.
Soal kenapa film ini mengambil lokasi Bromo, menurut Gus Imam, itu karena Bromo memilliki keunikan yang luar biasa. Pertama, di Bromo itu ada kekhasan masyarakatnya, namanya suku Tengger yang memiliki kearifan yang luar biasa. Suku Tengger itu biasanya kalau mengambil air dari sumber mata air yang jauh itu menggunakan bambu.
Selain itu, Bromo juga memiliki lokasi wisata yang sangat bagus yang masuk 10 prioritas destinasi wisata nasional tapi jarang diekspos. Menurut Gus Imam, ini harus digenjot, terutama melalui pintu Pasuruan. “Padahal, menurut saya kalau orang mau melihat pasir berbisik dan sunrise itu semua harus melalui pintu Pasuruan. Tapi selama ini Pasuruan belum terdorong. Para wisatawan masih melalui pintu lain, yaitu Probolinggo dan Malang,” tukasnya.
Hal lain kenapa film ini mengambil lokasi Bromo adalah kawasan konservasi Balai Taman Nasional. “Kawasan ini tidak boleh rusak karena merupakan cagar biosfer. Jadi harus dilestarikan karena di sana banyak juga flora dan fauna. Jadi keanekaragaman hayati di sana banyak sekali,” ujarnya.
Jadi, kata Gus Imam, film ini memberikan pesan bahwa people, planet dan prosperity, harus berjalan seimbang. “Jadi itu mimpi kita. Filmnya sangat pendek tapi bagaimana pesan itu bisa tersampaikan kepada masyarakat luas,” tuturnya.