Jumat 28 May 2021 13:45 WIB

BW: Penolakan Pembinaan Pegawai KPK Masuk Akal

Tidak ada jaminan, pembinaan juga potensial digunakan sebagai 'killing field' pegawai

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Bambang Widjojanto
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Bambang Widjojanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai, penolakan pembinaan yang dilakukan pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sangatlah masuk akal dan dapat dibenarkan. BW, sapaan akrab Bambang, memandang tindakan itu diambil karena sudah hilangnya kepercayaan terhadap para pimpinan KPK. 

"Penolakan pegawai KPK masuk akal dan justified karena Ketua KPK dan pimpinan KPK lainnya diduga keras dan sangat mungkin sebagian besar pegawai KPK, khususnya 75 orang yang tak memenuhi TWK, sudah sampai pada keyakinan, Ketua KPK sudah tidak bisa dipercaya lagi," kata BW kepada Republika.co.id, Jumat (28/5). 

Menurut BW, Ketua KPK dan pimpinan lainnya telah kehilangan legitimasinya karena berbagai kebijakan kontroversial dan dugaan rangkaian kebohongan berkaitan dengan asesmen TWK. Dengan begitu, sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya berkaitan dengan proses pembinaan kepada 24 orang pegawai KPK. 

Diketahui, hasil koordinasi KPK, BKN, Kemenpan-RB, Kemenkumham, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN,) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyatakan bahwa 51 dari 75 pegawai itu dinyatakan tidak lulus, sementara 24 sisanya dapat dibina lebih lanjut sebelum diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Penolakan pembinaan dari para pegawai, menurut BW, tidak bisa dilepaskan dari proses TWK yang sangat absurd dan adanya dugaan rangkaian kebohongan yang dilakukan para pimpinan KPK. 

"Sehingga wajar jika ada kekhawatiran bila pembinaan potensial sama absurdnya," ucapnya. 

"Tiba-tiba TWK jadi instrumen penilai dan pemutus dalam proses transformasi KPK independen ke ASN. Jadi, tidak ada jaminan, pembinaan juga potensial akan digunakan sebagai 'killing field' pegawai KPK," kata BW menegaskan. 

Dia juga menekankan, adanya diskriminasi yang dilakukan secara kasat mata dalam penggunaan TWK. BW pun membandingkan bila ingin menjadi calon presiden, hakim agung, hakim konsitusi, serta kepala daerah hanya cukup melampirkan surat pernyataan untuk setia kepada NKRI dan Pancasila serta memiliki integritas. 

"Tapi, jadi pegawai KPK yang mau dialihkan ke ASN jauh lebih berat. Itu sebabnya, TWK menjadi sangat mengada-ada, absurd, diskriminatif, dan otoriter," ujarnya menegaskan. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement