Senin 14 Jun 2021 00:55 WIB

Golkar, Digagas Sukarno Dipanen Suharto

Akbar Tandjung mengubah Golkar dari alat antipartai jadi alat partai sesudah Orba.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
David Reeve (tengah) bersama dengan Prof Adrian Vickers dan Natali Pearson.
Foto:

Sekitar 1920 sampai 1930an, Indonesia mempunyai tradisi antipartai, antisistem parlementer dan antidemokrasi versi barat. Penolakan ini terlihat bagaimana Ki Hadjar Dewantoro dan Sukarno mengkritik sistem partai di masa tersebut.

Sukarno pada 1940an pernah menganjurkan semacam golongan penting dari masyarakat, baik dari buruh, tani, perempuan, alim ulama dan sebagainya. Pada masa yang sama, tokoh Supomo  mempunyai peran sangat penting dalam penyusunan UUD 1945. Di naskah tersebut, dia tidak menyebutkan kata partai tapi golongan.

Seusai proklamasi kemerdekaan, Sukarno menganjurkan sistem satu partai nasional dengan perwakilan internal dari golongan. Namun konsep itu gagal dilakukan karena banyak partai yang bermunculan pada awal revolusi. Selang 11 tahun kemudian, Sukarno mulai menyerang peran partai politik Indonesia dengan mengubur partai-partainya.

Dibandingkan partai politik, Sukarno memakai golongan fungsional di masyarakat untuk menjadi wakil rakyat. Artinya, pada tahun Pemilu masyarakat bukan memilih wakil partai melainkan wakil tani, buruh dan sebagainya. Dengan sistem ini diharapkan parlemen akan didominasi perwakilan golongan masyarakat.

"Bukan oleh partai yang dianggap sumber perpecahan, sumber persaingan. Apalagi kabinet Indonesia dari 1945 sampai 1955, tidak pernah stabil. Biasanya singkat riwayat hidupnya," ucap dia.

Pada 1950an, Sukarno, Ki Hadjar Dewantoro dan AH Nasution menganggap partai membawa perpecahan. Petani misalnya bisa masuk ke PNI, NU, Masyumi atau PKI. Ideologi semacam ini dapat memecahkan kalangan petani. Namun jika semua organisasi petani disatukan, maka sistem akan berdasarkan kebersamaan bukan perpecahan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement