REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menolak mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah China terhadap masyarakat muslim Uighur di Xinjiang. Ia mengatakan China mitra terbaik Pakistan di masa sulit.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) yakin ada sekitar dua juta orang Uighur dan Muslim minoritas lainnya yang ditahan di sebuah kamp di seluruh penjuru Xinjiang beberapa tahun terakhir. Beberapa mantan tahanan mengaku menjalani doktrinisasi, mengalami pelecehan fisik dan sterilisasi.
Pemerintah AS dan sejumlah parlemen negara Barat melabelkan kebijakan Pemerintah China di Xinjiang sebagai upaya genosida. Tapi Khan mengatakan, Beijing membantah laporan pelanggaran hak asasi terhadap Muslim Uighur dalam pembicaraan tertutup dengan Islamabad.
"Kami menghormati apa adanya, mengapa hal ini menjadi isu besar di dunia Barat? Mengapa rakyat Kashmir diabaikan? Itu lebih relevan," katanya dalam wawancara dengan Axiois seperti dikutip CNN, Selasa (22/6).
Sengketa di wilayah mayoritas Muslim, Kashmir telah menjadi pusat perselisihan antara India dan Pakistan. Pada 2019 lalu India resmi menjadikan Jammu dan Kashmir sebagai wilayah persatuan untuk memperkuat wewenang pemerintah pusat India di bekas negara bagian tersebut.
Setelah itu India memutus saluran komunikasi dan membatasi pergerakan warga Kashmir di daerah yang mereka kuasai. "Saya melihat seluruh dunia, apa yang terjadi di Palestina, Libya, Somalia, Suriah, Afghanistan, apakah saya mulai membicarakan semuanya," kata Khan.
Pakistan adalah negara mayoritas Muslim dan memiliki jumlah muslim terbanyak kedua di dunia setelah Indonesia. Sudah lama Pakistan menjadi teman dan mitra dagang China dan mendapat banyak manfaat dari proyek infrastruktur China, global Belt and Road initiative yang diprakarsai Presiden Xi Jinping. Pada Oktober 2020 lalu Khan pernah mengajak negara-negara Muslim memerangi Islamophobia yang berkembang di negara-negara Barat.
Bukan pertama kalinya Khan menolak mengkritik Cina atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Pada 2019 ia juga mengatakan pada Financial Times ia tidak banyak mengetahui' tentang penangkapan massa di Xinjiang yang berbatasan dengan negaranya.