Jumat 23 Jul 2021 16:47 WIB

Menelusuri Data 1.200 Pasien Isoman Meninggal di DKI

Wagub DKI cek ulang apakah betul ribuan pasien isoman di DKI meninggal.

Red: Indira Rezkisari
Kurir mengirim paket obat Covid-19 ke rumah pasien yang menjalani isolasi mandiri di kawasan Johar Baru, Jakarta. Data LaporCovid-19 menyebut setidaknya 1.200 pasien isolasi mandiri (isoman) di Jakarta meninggal dunia.
Foto:

Ia menambahkan, kota yang terbanyak terpapar Covid-19 adalah Kota Jakarta Timur terbanyak 403 dan kabupaten terbanyak yakni Klaten sebanyak 99. Menurutnya, masih banyak angka kematian diluar yang tercatat. Sebab, pihaknya juga mendapatkan laporan kematian yang dihimpun CISDI hanya dari 100 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di 12 kabupaten. Jadi, pihaknya percaya masih banyak angka kematian diluar itu.

"Informasi ini harus ditindaklanjuti lembaga-lembaga terkait," katanya.  

Ketua Ikatan Dokter Indonesia, dr Daeng M Faqih, mengatakan ada beberapa faktor yang jadi penyebab pasien isoman meninggal. Isolasi mandiri seharusnya hanya bisa dilakukan oleh pasien tanpa gejala atau bergejala ringan.

Di luar itu harus menjalani perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Lonjakan kasus yang membuat rumah sakit dan puskesmas penuh membuat masyarakat sulit mendapatkan tempat tidur.

"Sekarang banyaknya yang meninggal saat isoman. Kita harus terbuka saja, banyak yang mestinya sudah dirawat di rumah sakit, dengan saturasi di bawah 94, bahkan mungkin saturasinya rendah sekali 80 atau 70, karena tidak dapat kamar (di rumah sakit) terpaksa dirawat dirumah. Ini memang agak berat, tapi terpaksa dirawat di rumah karena tidak ada tempat di rumah sakit. Ini memang yang menyebabkan banyak kasus meninggal," ucap Daeng, Kamis (22/7).

Bahkan orang tanpa gejala (OTG) atau bergejala ringan juga ada yang meninggal saat isoman di rumah, lanjut Daeng. Hal itu biasanya disebabkan karena terjadi perburukan kondisi pasien, namun tidak disadari, sehingga terlambat mendapatkan perawatan medis yang tepat.

Daeng menekankan, pasien isoman tetap harus mendapatkan pengawasan dari tenaga kesehatan. Pasien maupun keluarganya pun harus memahami alarm atau tanda tubuh jika terjadi perburukan gejala Covid-19.

"Bagi yang melakukan isoman, ada alarm kapan dia harus mencari pertolongan ke rumah sakit. Pertama, sebenarnya secara keseluruhan kalau terjadi perburukan atau gejala yang tampak berat. Biasanya gejala yang dikaitkan dengan gangguan pernapasan. Karena gangguan pernapasan sebagai tanda terjadi gejala pneumonia atau radang paru," jelasnya.

Gejala pneumonia di antaranya napas jadi lebih cepat dan pendek. Jika diukur respiratori atau kecepatan napas mencapai 24 kali per menit.

"Itu sudah menunjukkan gejala gangguan napas, berarti dia sudah ada gejala pneumonia. Sudah masuk gradasi gejala sedang, bukan lagi gejala ringan, jadi tidak boleh lagi dilakukan isoman," imbuh Daeng.

Gejala kedua, meskipun napas tidak cepat tapi merasa sesak atau dada seperti tertekan dan sakit, itu termasuk gejala gangguan napas. Ketiga, terjadi sianosis, yakni kebiruan pada bibir, ujung tangan, juga ujung kuku.

Daeng menjelaskan bahwa sianosis menunjukkan kekurangan oksigen, dan jika diperiksa dengan oximeter kemungkinan saturasinya telah di bawah 94.

Namun, meskipun oksigen bisa digunakan secara mandiri dari rumah, tetap ada dosis yang harus diperhatikan saat menggunakannya. Ia menekankan pentingnya pendampingan dari tenaga medis bagi pasien Covid-19 yang isoman.

"Karena kebanyakan masyarakat belum mengetahui gejala alarm tadi. Ini bisa tercegah kalau dia selalu terhubung, selalu konsultasi ke dokter atau tenaga kesehatan. Ada pendamping tenaga kesehatan atau dokter yang terus ditanyakan," ucapnya.

Menurut Daeng, pasien Covid-19 yang OTG atau hanya gejala ringan sebenarnya peluang untuk sembuh sangat besar. Asalkan mendapatkan perawatan yang baik dan tepat.

photo
Isolasi mandiri pasien Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement