Jumat 06 Aug 2021 13:13 WIB

Penolakan Malaadministrasi TWK KPK yang tidak Mengejutkan

Penolakan KPK dinilai sebagai tindakan antikoreksi lembaga.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron melambaikan tangan sebelum memberikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). KPK menyatakan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron melambaikan tangan sebelum memberikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). KPK menyatakan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Dian Fath Risalah, Antara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan menolak temuan malaadministrasi di proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK oleh Ombudsman. Penolakan KPK tersebut seakan sudah ditebak arahnya.  

Baca Juga

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, menilai penolakan KPK sebenarnya tidak membantah institusinya melanggar administrasi atau tidak saat menyampaikan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI. "KPK sama sekali tidak membantah institusinya melanggar administrasi atau tidak, sehingga bukan tidak mungkin ini pengakuan KPK telah melakukan cacat administrasi. Namun untuk membela diri dinyatakan Ombudsman RI juga melakukan cacat administrasi." kata Feri, Jumat (6/8).

Dia mengatakan KPK justru terlihat hendak melarikan perdebatan jauh dari substansi yang sebenarnya. Yaitu apakah KPK melakukan malaadministrasi dalam penyelenggaraan TWK dalam proses peralihan pegawai komisi menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Kesan yang hendak ditimbulkan, lanjutnya, seolah-olah Ombudsman melanggar administrasi karena memeriksa KPK yang melanggar administrasi. "Alih-alih taat administrasi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron malah menuduh Ombudsman tidak mematuhi aturan sendiri," katanya.

Menurutnya, KPK tidak membaca secara utuh peraturan mengenai Ombudsman RI. Feri lantas menjelaskan konsep administrasi dan hukum administrasi mengenai kewenangan Ombudsman dalam kaitannya terhadap pemeriksaan mengenai polemik TWK bagi pegawai KPK.

Dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 ayat (1) huruf c Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Feri menyebut bahwa salah satu fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman adalah meminta klarifikasi dan/atau salinan dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dan instansi terlapor. Dalam menyelenggarakan fungsi, tugas, dan kewenangannya itu, berdasarkan Pasal 12 UU tersebut, Ombudsman dibantu oleh asisten, katanya lagi.

Karena itu, kewenangan melakukan klarifikasi yang dilakukan oleh keasistenan bidang pemeriksaan berdasarkan Pasal 15 Peraturan Ombudsman RI yang dikutip Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lebih karena ia tidak memahami bahwa yang berwenang sesungguhnya Ombudsman. Yaitu, pimpinan Ombudsman yang didelegasikan kepada asisten, kata Feri.

"Apakah boleh klarifikasi dilakukan pimpinan Ombudsman RI? Tentu saja boleh karena secara UU itu kewenangannya pimpinan Ombudsman. Asisten hanya melakukan dalam rangka membantu tugas dan kewenangan Pimpinan Ombudsman tersebut," ujarnya pula.

Dia mengatakan bantahan tersebut bukan karena Nurul Ghufron tidak mengerti terhadap konsep administrasi dan hukum administrasi. Tetapi lebih sebagai alasan yang dicari-cari terhadap berbagai kesalahan administrasi yang dilakukan KPK dalam melaksanakan TWK.

"Sudah dicari-cari ternyata malah tidak membaca peraturan seutuhnya. Apalagi cacat administrasi penyelenggaraan TWK yang ditemukan Ombudsman RI kan cukup banyak," ujar Feri.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan tidak kaget lagi melihat sikap KPK yang mengabaikan tindakan korektif Ombudsman RI perihal temuan malaadministrasi atas pengalihan status kepegawaian KPK. "Sebab, gelagat itu memang sudah tampak, salah satunya saat Pimpinan KPK melepas 18 pegawai untuk mengikuti diklat bela negara dan wawasan kebangsaan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Jumat (6/8).

Jadi, bagi ICW, lengkap sudah pembangkangan yang dilakukan oleh pimpinan KPK, mulai dari mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi, mengabaikan arahan Presiden Joko Widodo, hingga menganulir temuan Ombudsman. Hal ini semakin menunjukkan sikap arogansi dan tidak tahu malu dari Pimpinan KPK.

"Berkenaan dengan hal tersebut, ICW menyarankan kepada Ombudsman untuk segera mengeluarkan rekomendasi dan langsung melaporkannya kepada Presiden. Selain itu, Presiden pun harus segera bersikap dengan melantik 75 pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, " tegas Kurnia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement