Senin 23 Aug 2021 07:34 WIB

‘Perang' Hadits Palsu Kubu Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib

Gerakan pemalsuan hadits juga dilatarbelakangi afiliasi politik

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Gerakan pemalsuan hadits juga dilatarbelakangi afiliasi politik. Ilustrasi pemalsuan hadits
Foto:

Periode antara Perang Siffin dan era Umar bin Abdul Aziz dipenuhi pergolakan politik yang begitu panas. Bagaimana tidak? Masing-masing kelompok, hanya untuk membela patron politiknya, tidak ragu membawa-bawa nama Nabi Muhammad SAW.

Pada masa itu, banyak muncul hadits-hadits palsu (maudlu'). Dengan hadits tersebut, pendapat (politik) mereka seolah-olah dibenarkan nubuat Rasulullah SAW. Misalnya, perkataan kaum fanatikus Ali sebagai berikut:

علي خير البشر، من شك فيه فقد كفر  'Aliyyun khairu al-basyari, man syakka fiihi kafar, 'Ali merupakan sebaik-baik manusia. Barang siapa meragukannya, maka ia telah kafir.' 

Teks itu adalah hadits palsu karena disandarkan pada Nabi SAW, padahal tidak berasal dari beliau. Tidak pernah dari lisan Rasulullah SAW keluar kata-kata demikian. Namun, para pendukung Ali yang sudah fanatik buta menggembar-gemborkan perkataan itu sebagai sebuah sabda Nabi SAW.

Baca juga : Nama Nabi Muhammad yang Tercantum di Kitab Agama Dunia

Alhasil, mereka mendapatkan pembenaran untuk memusuhi Muawiyah. Dengan berdiri di sisi Ali, mereka merasa perbuatannya telah sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.

Padahal, Ali sendiri tidak pernah membenarkan kelakuan mereka yang mengutip perkataan lalu menyandarkannya pada nama mulia al-Musthafa. Di luar kubu-kubuan Ali dan Muawiyah, pemal suan hadits juga terjadi pada zaman Abbasiyah. Umpamanya, cerita tentang Ghiyats bin Ibrahim An Nakha'i Al Kufi tatkala menemui Khalifah Al Mahdi. 

Waktu itu, sang amirul mukminin sedang bermain-main dengan burung merpati kesayangannya. Berkatalah Ghiyats kepadanya bahwa Rasul SAW pernah bersabda;  

 

لَا سَبْقَ إِلَّا فِي خُفٍّ, أَوْ نَصْلٍ, أَوْ حَافِرٍ أَوْحَنَاح “Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, atau menggali atau sayap.” Kata atau sayap (aw janaah) itu sesungguhnya tidak berasal dari Nabi SAW. Ghiyats hanya menambahkannya demi menyenangkan hati Al Mahdi. Mengetahui itu, sang khalifah segera memerintahkan bawahannya untuk menyembelih burung merpatinya."Aku yang menanggung beban atas hal seperti itu,” katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement