REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia dinilai belum memiliki kesiapan dalam menghadapi ancaman biologi. Laboratorim khusus misalnya, untuk menangkal ancaman biologi, sejauh ini belum ada.
Di Indonesia sebenarnya pernah berdiri Laboratorium Namru milik Angkatan Laut Amerika Serikat. Namun, laboratorium riset ancaman biologi tersebut tidak memberikan manfaat sehingga dibubarkan Pemerintah RI pada 2008.
Laboratorium Namru didirikan pada 1970-an. Meski bercokol sekitar 30 tahun, keberadaan laboratorium di Jl Percetakan Negara Jakarta Pusat dianggap belum memberikan sumbangan bagi Indonesia dalam menghadapi ancaman biologi.
Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI tahun 2004-2009 menyatakan Indonesia tidak memperoleh banyak manfaat dari Laboratorium Namru. “Menurut saya manfaatnya jauh lebih kecil dibandingkan kerugiannya sebagai negara merdeka,” ujarnya saat dihubungi wartawan, Senin (13/9)/
Dia menilai, keberadaan laboratorium asing tersebut merupakan bentuk penjajahan, sehingga harus ditutup. Jika pun Namru masih ada, menurut dia, sumbangannya terhadap pencegahan pandemi Covid-19 tidak signifikan dan sejauh ini hasil-hasil penelitian Laboratorium Namru tidak diserahkan ke Indonesia.
“Indonesia bingung menghadapi pandemi bukan karena tidak ada Namru, tetapi memang karena bingung sendiri tidak mengira pandemi separah ini,” ucapnya.
Menurut dokter spesialis jantung ini, Indonesia mengalami kemunduran dalam penanganan ancaman biologi. Sebelumnya Badan Intelejen Negara (BIN) pernah memiliki Divisi Nubika (Nuklir, Biologi, dan Kimia) yang mengurus ancaman biologi, tapi sayangnya Divisi Nubika ini sudah dibubarkan. “Saya sendiri tidak tahu mengapa dibubarkan,” kata Fadilah.
Siti Fadilah Supari dikenal sebagai Menteri Kesehatan yang berhasil menangani ancaman biologi. Pada eranya, flu babi dan flu burung berhasil dicegah untuk tidak berkembang menjadi pandemi.
“Dulu saya bekerja sama dengan BIN. Untuk menghadapi ancaman biologi, Indonesia membutuhkan sistem perlindungan yang komprehensif bagi rakyat semesta. Dengan demikian negeri ini siap menghadapi pandemi apapun,” jelas anggota Dewan Pertimbangan Presiden periode 2010-2014.
Menurut Fadilah, untuk menghadapi ancaman biologi Indonesia harus memiliki wadah, sumber daya manusia, alat-alat dan perangkat lain. Misalnya, perlu dibentuk satgas bencana kesehatan. “Banyak yang harus dibangun, kita belum punya apa-apa,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran UGM ini.
Ancaman biologi sangat nyata di masa depan. Karena itu, menurut Fadilah, Indonesia harus segera berbenah untuk mengantisipasi bioterorisme yang akan datang.
Di level dunia ada sejumlah laboratorium yang mempelajari ancaman biologi seperti Laboratorium Wuhan Tiongkok dan Laboratorium Fort Detrick Amerika Serikat. Semestinya, kata dia, laboratorium tersebut bekerja sama agar pandemi bisa dicegah.
Laboratorium Fort Detrick adalah laboratorium milik Angkatan Darat Amerika Serikat, terletak di Maryland. Laboratorium ini mempelajari material menular mematikan seperti Ebola dan Cacar. Laboratorium Fort Detrick ditutup pada 19 Agustus 2021. Penutupan ini sempat mengundang perhatian publik dan mempertanyakan kaitannya dengan Covid-19 yang muncul pada akhir 2019. “Tetapi anda dan saya adalah orang-orang yang tidak punya power untuk mengatur mereka,” ucap Fadilah.
Lebih lanjut, Siti Fadilah menegaskan bahwa Indonesia harus berdaulat sendiri memimpin pencegahan ancaman biologi. Agar bisa terjadi, pimpinan penanggulangan harus orang yang menguasai substansi pandemi.
“Dengan demikian bisa membuat strategi yang scientifically sesuai dengan seharusnya,” katanya.
Dalam penanganan pandemi saat ini, Siti Fadilah menilai tidak ada kemajuan pemikiran ilmiah yang subsatansif. Semua kebijakan berdasar standard operating procedure (SOP) sebelumnya.
Dia juga menyayangkan kerja sama antara ilmuwan, BIN, dan TNI secara substansial terkesan belum terbangun dengan baik. Menurut dia, Indonesia seharusnya memiliki strategi sendiri.
“Perencanaan yang sudah dibuat secara normatif atas petunjuk WHO bisa dijalankan dengan strategi yang kita pastikan berdasarkan analisa data nasional yang valid,” jelas Fadilah.