REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) menetapkan mantan gubernur Sumatra Selatan (Sumsel) 2008-2018 Alex Noerdin (AN) sebagai tersangka oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), pada Kamis (16/9). Penetapan tersangka tersebut, terkait kasus dugaan korupsi pembelian gas bumi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel yang merugikan keuangan negara, lebih dari Rp 427 miliar.
Jampidsus juga menetapkan Muddai Maddang (MM), mantan komisaris PDPDE Gas, sebagai tersangka. Terkait kasus ini, penyidikan di Jampidsus, sementara ini, sudah menetapkan empat orang tersangka. Persis sepekan lalu, Kamis (2/9), Jampidsus menetapkan dua tersangka awalan, yakni Caca Isa Saleh S (CISS), selaku Direktur Utama (Dirut) PDPDE Sumsel, bersama A Yaniarsyah (AY), Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN).
Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi membenarkan kabar tentang penetapan Alex Noerdin, dan Muddai Maddang tersebut. “Betul,” kata Supardi lewat pesan singkatnya, kepada Republika, Kamis (16/9). Supardi menjelaskan, saat ini, Alex maupun Muddai, masih dalam pemberkasan untuk status hukum baru terhadap keduanya. Ketika ditanya apakah keduanya bakal langsung dilakukan penahanan, Supardi belum dapat memastikan. “Apapun nanti, tunggu rilis resmi,” ujar Supardi.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak, Kamis (2/9) pernah menerangkan, kasus korupsi pembelian gas bumi ini berawal dari 2010. Bermula dari pemberian alokasi pembelian gas bumi bagian negara oleh PT Pertamina, Talisman Ltd, Pasific Oil and Gas Ltd, Jambi Merang (JOB Jambi Merang). Pemprov Sumsel mendapatkan ‘jatah’ pemberian 15 MMSCFD atau million standart cubic feet per day.
“Pemberian tersebut berdasarkan keputusan kepala Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas), atas permintaan Gubernur Sumatera Selatan,” kata Ebenezer. Dari keputusan BP Migas tersebut, yang ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PDPDE Sumsel. Akan tetapi, PDPDE dikatakan saat itu, belum punya pengalaman teknis, maupun pendanaan yang solid. Kondisi itu, membawa keputusan lanjutan, dengan menggaet pihak swasta, PT DKLN sebagai mitra kongsi. Kongsi bisnis tersebut, berujung pada pembentukan badan hukum baru yakni, PT PDPDE Gas.
Baca juga : Panglima TNI Mutasi Wakil KSAU dan Pangdam Tanjungpura
Perusahaan kongsi tersebut, memberikan hak kepemilikan saham kepada PDPDE Sumsel sebesar 15 persen. Sedangkan DKLN sebesar 85 persen. Komposisi kepemilikan moyoritas tersebut yang membuat AYH berhak juga atas jabatan Dirut PDPDE Gas. Dari peristiwa tersebut, menurut kejaksaan, negara dirugikan sepanjang 2010 sampai pembukuan 2019. “Bahwa akibat dari penyimpangan tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara,” kata Ebenezer.
Menurut penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kata Ebenezer, ada dua sumber kerugian negara dalam kasus PDPDE Gas. Pertama merugi senilai 30,19 juta dolar AS, atau setara dengan Rp 427 miliar sepanjang 2010-2019 selama perjalanan kongsi bisnis dalam PDPDE Sumsel, dan DKLN tersebut. “Kerugian tersebut berasal dari hasil penerimaan penjualan gas, dikurangi biaya operasional selama kurun waktu 2010-2019 yang seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel,” ujar Ebenezer.
Nilai kerugian kedua, senilai 63,75 ribu atau setara Rp 909 juta, dan Rp 2,1 miliar. “Kerugian negara tersebut, merupakan setoran modal yang seharusnya tidak dibayarkan oleh PDPDE Sumsel kepada PT DKLN,” begitu sambung Ebenezer. Atas dugaan korupsi tersebut, kata Ebenezer penyidik sementara ini, menetapkan para tersangka yang dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999-20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan Pasal 3 UU Tipikor.