REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indikator Politik Indonesia melakukan hasil survei terkait wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang ingin dilakukan MPR. Hasilnya, 55,0 persen publik menilai bahwa amendemen belum saatnya dilakukan saat ini.
"Di kalangan publik mayoritas menilai belum saatnya, 55,0 persen," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi daring, Rabu (13/10).
Hanya 18,8 persen publik yang mengaku setuju bahwa amendemen UUD 1945 dilakukan saat ini. Lalu, 26,2 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak jawab.
Dari 55,0 persen yang tak setuju melakukan amendemen UUD 1945 saat ini, 24,9 persen di antaranya mengaku bahwa konstitusi saat ini sudah sesuai dengan kondisi bangsa.
"Masih layak digunakan 14,5 persen, belum saatnya diubah 13,1 persen, tidak boleh diubah 7,4 persen, dan pandemi belum usai sebesar 7,1 persen," ujar Burhanuddin.
Indikator Politik Indonesia juga menanyakan ihwal wacana amendemen UUD 1945 terhadap para elite. Mereka berjumlah 313 orang yang terdiri akademisi, pimpinan media, tokoh agama, budayawan, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pusat studi kebijakan.
Hasilnya, mayoritas elite tak setuju jika amendemen dilakukan saat ini. Sebesar 28,1 persen elite mengaku setuju dan 2,9 persen lainnya menyatakan tidak jawab atau tidak tahu.
"Mayoritas 69 persen elite menilai belum saatnya dilakukan kembali perubahan amendemen terhadap UUD 1945," ujar Burhanuddin.
Dari 69,0 persen elite yang tak setuju, 27,8 persen di antaranya beralasan bahwa amendemen belum hal yang mendesak. Lalu, 13,9 persen menyatakan bahwa UUD 1945 yang ada saat ini sudah baik.
Indikator Politik Indonesia melakukan survei pada 2 hingga 7 September 2021. Jumlah responden sebanyak 1.220 orang dengan penarikan sampel menggunakan metode multistage random sampling.
Wawancara dilakukan secara tatap muka dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Adapun toleransi kesalahan atau margin of error sebesar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.
Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), menyadari wacana melakukan amendemen UUD 1945 memunculkan pro-kontra di masyarakat. MPR dituding melakukan agenda terselubung seperti memperpanjang masa jabatan presiden, atau menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Bamsoet secara tegas menepis hal tersebut.
"Sama sekali kami belum pernah membahas dan kami tidak ingin ada penumpang gelap dalam hal pengadaan kembali PPHN ini," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/10).
Ia menilai, keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) merupakan suatu langkah untuk menghadirkan arah bangsa yang jelas ke depan. Bamsoet berharap gagasan untuk menghadirkan kembali PPHN bisa menjadi konsensus bersama seluruh pihak.
"Yang ideal adalah ini harus menjadi konsensus semua kekuatan bangsa dan stake holder bangsa ini setuju artinya sepaham, ini baru yang ideal karena kita akan merumuskan suatu bangsa dalam puluhan tahun mendatang," kata Bamsoet.
Bambang juga merespons baik adanya usulan adanya konsensus di tingkat pimpinan partai politik (parpol) terkait amendemen terbatas UUD 1945. Ia berharap hal itu juga didukung oleh para ketua umum parpol.
"Menurut saya apakah kita butuh PPHN yang dipayungi undang-undang lebih tinggi daripada yang sekarang ini yang hanya dengan undang-undang. Kalau jawabannya kita butuh maka saya yakin dan saya percaya para senior-senior saya ketum partai politik agar menyambut dengan baik yang penting kita bisa meyakinkan tidak ada agenda lain kecuali memang untuk menghadirkan PPHN," kata Bamsoet.
In Picture: Pimpinan MPR Temui Megawati Minta Masukan Amandemen UUD