REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tekanan demi tekanan terus diarahkan ke junta militer Myanmar. Setelah dijatuhkan sanksi Barat, kini junta Myanmar terancam dikucilkan oleh ASEAN. Junta Myanmar tidak diundang dalam pertemuan pemimpin ASEAN baru-baru ini.
"Tekanan internasional dan hancurnya ekonomi bisa membuat mereka menyerah. Apalagi rakyat sudah semakin terpuruk secara ekonomi," ujar pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting kepada Republika.co.id, Jumat (29/10).
Menurutnya junta militer saat ini sedang menghadapi dilema dari sisi ekonomi. Mata uang Myanmar telah kehilangan lebih dari 60 persen nilainya sejak awal September 2021 lalu. Hal ini membuat junta militer semakin tidak berdaya.
"Ya, mau tidak mau (kembalikan ke sipil). Karena dari regional saja (ASEAN) sudah menghukumnya. Tidak mengakui junta," ujarnya.
Tidak diakui
Selamat Ginting melanjutkan, ada teori dari Wallace S Sayre yang menjelaskan mengenai persyaratan berdirinya suatu negara. Terdapat beberapa elemen yang diperlukan dalam pembentukan suatu negara yaitu: rakyat (people), wilayah (territory), kesatuan (unitary), organisasi politik (political organization), kedaulatan (sovereignty), dan ketetapan (permanence). Enam elemen itu termasuk dalam unsur konstitutif.
"Namun hal itu belum cukup. Masih ada unsur unsur deklaratif. Unsur ini memang tidak mutlak ada ketika suatu negara berdir. Tetapi, unsur ini boleh dipenuhi setelah suatu negara berdiri," jelasnya.