REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi masih jadi polemik. Terutama, penggunaan diksi 'tanpa persetujuan korban' yang dikhawatirkan malah melegalkan perilaku seksual.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, menyerahkan, pro dan kontra ini ke kearifan pemerintah menyerap keberatan-keberatan yang ada. Pemerintah perlu mendengarkan suara keberatan dari hati yang paling dalam dengan patokan nilai.
Dia mengingatkan, pengalaman sejarah menunjukkan tokoh bangsa kita mengajarkan cara mengakomodasi. Misal, pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta melalui dialog dan bertemu dalam sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Apalagi, apa sih susahnya menghilangkan satu kata yang itu tidak mengurangi, bahkan menunjukkan konsep kekerasan apapun, termasuk kekerasan seksual. Segala bentuk kekerasan ditolak siapapun, kelompok manapun, apalagi kelompok agama," kata Haedar, Rabu (17/11).
Tentu, kita semua ingin Kemendikbudristek betul-betul arif, bijaksana, menyerap dan merevisi yang jadi keberatan. Ketika itu bisa dilakukan, kita bisa menatap ke depan menghadapi persoalan berat bangsa.
Baca juga : Natal-Tahun Baru, PPKM Level 3 Berlaku di Seluruh Indonesia
Apalagi, kata Haedar, selain pandemi yang masih sangat berat, ada dampak pandemi yang berat untuk ditangani dan kita tidak habis menarik ulur persoalan yang diselesaikan. Karenanya, dia menekankan, kata kunci polemik ini kearifan pemimpin bangsa.
Terkait ancaman penurunan akreditasi Nadiem Makarim, Haedari mengingatkan, kita membangun lembaga pendidikan tangguh, unggul dan berkualitas memiliki tujuan. Yaitu, hadapi tantangan persaingan, termasuk datangnya perguruan tinggi asing.
Apalagi, bagi perguruan-perguruan tinggi Muhammadiyah yang berstatus swasta, mendapatkan akreditasi merupakan perjuangan yang sangat panjang. Muhammadiyah, tidak bisa melalui hal-hal instan dan untuk dapat akreditasi sangatlah berat.
"Maka, agar seksama dalam menentukan sanksi, sebab nanti dampaknya juga buat lembaga pendidikan," ujar Haedar.
Haedar menekankan, lembaga pendidikan sudah memiliki mekanisme internal untuk menyelesaikan, menindak atau menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Maka itu, dorong lembaga pendidikan memfungsikan bagian-bagian yang mereka miliki.
Termasuk, kata Haedar, dalam rangka menghadapi segala bentuk kekerasan maupun tindak asusila yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Karenanya, jangan sampai kita kehilangan pondasi membangun lembaga pendidikan yang sangat berat. "Saya pikir semuanya harus ditinjau secara matang," ujar Haedar.