Kamis 09 Dec 2021 16:49 WIB

Ini Alasan Polda Jabar tak Ekspos Kasus Pemerkosaan Belasan Siswi Sejak Awal

Kasus pemerkosaan belasan siswi di Kota Bandung kini sudah dalam proses persidangan.

Kasus belasan siswi di salah satu sekolah di Kota Bandung, Jawa Barat, yang menjadi korban pemerkosaan oleh gurunya kini sudah dalam proses persidangan. Foto: Ilustrasi pemerkosaan di bawah umur.
Kasus belasan siswi di salah satu sekolah di Kota Bandung, Jawa Barat, yang menjadi korban pemerkosaan oleh gurunya kini sudah dalam proses persidangan. Foto: Ilustrasi pemerkosaan di bawah umur.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bayu Adji P, Muhammad Fauzi Ridwan

TASIKMALAYA -- Kasus belasan siswi di salah satu sekolah di Kota Bandung, Jawa Barat, yang menjadi korban pemerkosaan oleh gurunya kini sudah dalam proses persidangan. Lantas, mengapa kasus ini tidak diekspos di awal sejak penyidikan di kepolisian?

Baca Juga

Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Jabar, Kombes Pol Erdi A Chaniago, mengatakan, kasus itu telah dilaporkan ke kepolisian pada Mei 2021. Ketika itu, polisi mendapat laporan adanya dugaan pencabulan kepada siswi di salah satu sekolah di Cibiru, Kota Bandung.

"Itu yang melakukan adalah guru dari pesantren tersebut," kata dia di Kota Tasikmalaya, Kamis (9/12). Menurut dia, dalam laporan itu, terdapat beberapa korban yang di bawah umur. Beberapa dari korban saat itu juga dalam keadaan hamil.

Erdi mengatakan, Polda Jabar sengaja tak merilis atau ekspos kasus tersebut. Sebab, kasus itu terkait anak di bawah umur. Aparat kepolisian menjaga agar para korban tak mengalami dampak psikologis dan dampak sosial yang lebih berat.

"Intinya, saat itu kami tidak rilis atau tidak memberikan informasi ke rekan-rekan media karena terkait masalah psikologis dan dampak sosial kepada anak-anak itu," kata dia.

Kendati demikian, Erdi menegaskan, pihaknya tetap berkomitmen untuk mengungkap kasus itu. Polisi tetap melakukan penyelidikan dan penyidikan. "Alhamdulillah kasus itu sudah dinyatakan P21 dan dilimpahkan ke kejaksaan. Sekarang sedang dalam persidangan," kata dia.

Ia menjelaskan, saat kasus itu dilaporkan pada Mei 2021, sudah ada beberapa korban yang sudah melahirkan. Artinya, kejadian itu dilakukan lebih dari satu tahun yang lalu.

Erdi mengatakan, polisi juga melakukan proses trauma healing kepada para korban. Sebab, polisi memiliki kewajiban mengembalikan kondisi psikologis korban.

"Trauma healing kami berikan kepada korban. Itu kita lakukan selama penyelidikan dan penyidikan," kata dia.

 

Hukum berat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung meminta agar aparat menghukum HW (36 tahun) dua kali lipat dalam kasus pelecehan seksual terhadap belasan anak. Pelaku yang berstatus guru seharusnya mencerminkan sebagai sosok pendidik yang alim.

"Intinya mengecam perbuatan tersebut apalagi dia guru, status guru itu kalau orang yang alim itu dihukumnya dua kali lipat dalam tradisi keilmuan," ujar Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung Asep Ahmad Fathurrohman.

Meski begitu pihaknya tetap menghormati aturan hukum yang berlaku. Ia mengaku mendapatkan informasi bahwa proses persidangan dalam kasus tersebut sudah berjalan beberapa kali.

Saat ini, ia mengatakan, yang harus diperhatikan dan diselamatkan adalah korban. Pihaknya pun akan berupaya membantu apabila terdapat akses untuk melakukan pendampingan demi masa depan anak.

"Masa depan anak seperti apa, keluarga seperti apa apalagi anak di bawah umur harus diberikan pemahaman dan mental yang kuat. Sekarang menatap masa depan, anak-anak mempunyai cita-cita," katanya.

Termasuk anak dari korban harus diperhatikan agar jangan sampai tidak memiliki akta kelahiran. "Adapun anak yang sudah lahir nanti mungkin ada beberapa ketentuan dalam perundangan statusnya seperti apa karena dalam ajaran Islam tidak boleh dinisbatkan kepada yang menghamili. Dalam hukum positif seperti apa, jangan juga anak nggak punya akta kelahiran," katanya.

Ia pun ingin mengklarifikasi informasi yang beredar tentang pelaku bahwa pelaku bukan pengurus pesantren atau ketua, namun semacam penghubung atau honorer. Ia pun mengatakan, peristiwa ini sangat merugikan pesantren.

"Pengawasan kita akui ada kecolongan oleh karena itu masyarakat harus hati-hati dalam memasukkan anak ke rumah tahfiz. Jadi rumah tahfiz beda dengan pesantren. Pesantren ada kiai, santri, asrama, masjid, kurikulum, jadi tidak boleh satu atap empat kamar, satu rumah satu pintu," ungkapnya.

Ia menegaskan, pelaku bernaung bukan di pesantren. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, aksi bejat pelecehan seksual oleh pelaku dilakukan kepada 12 orang anak berusia rata-rata 12 hingga 17 tahun. Aksi tersebut berlangsung sejak lama dan saat ini beberapa korban telah melahirkan anak dari pelaku.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement