Oleh : M Nasir Djamil, anggota DPR RI Komisi Hukum, HAM dan Keamanan
REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merevisi penggunaan istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi Tangkap Tangan atau TT. Istilah OTT dianulir tidak dikenal dalam hukum Indonesia karena yang dikenal ialah istilah ter-‘tangkap tangan’. Pun demikian dengan pergantian istilah, yang terpenting adalah bagaimana kinerja KPK.
Terlepas dari itu, patut diapresiasi terkait pencapaian KPK dalam melakukan tangkap tangan kepada pejabat-pejabat yang terindikasi melakukan suap dan korupsi. Tercatat, di awal Januari 2022 ini, KPK telah melakukan empat kali TT. Yakni, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi alias Pepen, Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas'ud, Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin, dan hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Tong Isnaeni Hidayat. Sehingga total tangkap tangan yang dilakukan sejak KPK berdiri hingga sekarang ialah 141 kali tangkap tangan, dimana 100 persen berhasil dibuktikan di persidangan.
Korupsi di Daerah
Dari kasus-kasus tangkap tangan yang terungkap oleh KPK, dapat dilihat bahwa KPK lebih banyak melakukan operasi tangkap tangan di lingkungan pemerintah daerah dengan rata-rata terjerat kasus pidana mark up anggaran dan suap. Setidaknya, terdapat 155 kepala daerah dari 514 kabupaten/kota yang terjerat kasus korupsi. Dari 155 kepala daerah, 27 gubernur atau wakil gubernur yang bermasalah.
Lebih lanjut, data tahun 2018 menunjukkan, terdapat 114 kasus korupsi di lingkungan pemerintah kabupaten/kota dari total 199 kasus yang ditangani KPK. Lalu pada 2019-2020, kasus korupsi di lingkungan pemerintah kabupaten/kota ada 66 dan 48 kasus. Pada tahun 2021, kasus korupsi di lingkungan pemerintah kabupaten/kota ada 46 kasus dari total 71 kasus korupsi yang ditangani KPK.
Dapat dimengerti bahwa Indonesia memiliki 514 kab/kota dan 34 provinsi, sehingga potensi korupsi memang mungkin banyak terjadi lingkaran pemerintah daerah. Setidaknya terdapat tiga penyebab utama terjadinya desentralisasi korupsi.
Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan, dan administrasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tanpa disertai dengan pembagian kekuasaan kepada rakyat. Kedua, kurang maksimalnya institusi negara dalam mengontrol penyimpangan wewenang di tingkat daerah secara efektif. Ketiga, fungsi pengawasan legislatif di tingkat daerah belum maksimal dan masih perlu ditingkatkan
Perihal jerat tangkap tangan yang marak terjadi di daerah, benarkah itu mengindikasikan bahwa institusi lain seperti BUMN dan pejabat-pejabat di pemerintahan pusat telah benar-benar bersih dari korupsi? Tentu saja, kita berharap demikian. Rakyat sangat ingin Indonesia terbebas dari jerat korupsi di tingkat pemerintah daerah, pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan negara/daerah.
Mega Korupsi
Di tahun 2021, terdapat 2 menteri dari Presiden Jokowi yang terlibat korupsi, mereka adalah Juliari Batubara dan Edhy Prabowo. Keduanya sama-sama tertangkap dalam OTT yang dilakukan oleh KPK. Fakta ini mengindikasikan bahwa korupsi tetap terjadi dilingkungan pusat pemerintahan tidak hanya di daerah. Di kementerian, pengadilan tinggi, legislatif, perusahaan swasta ataupun negeri nasional juga pernah terjadi. Buruknya adalah sekalipun itu dilakukan oleh oknum tertentu, tindakan ini tentu saja dapat mencoreng marwah institusi pejabat negara yang sesungguhnya setiap sepak terjangnya digunakan untuk kepentingan rakyat.
Dalam konteks itu, tentunya kita selaku warga negara patut ikut turut serta untuk mendukung KPK dalam melakukan serangkaian kegiatan bersih-bersih institusi negara agar tidak ada koruptor yang bebas berkeliaran. Namun demikian, fokus KPK seharusnya memprioritaskan kasus-kasus korupsi yang merugikan lebih banyak aset negara. Kasus BLBI, Century serta pengembangnnya misalkan, kasus-kasus korupsi jumbo seperti itu tentu saja harus diberikan atensi dan dukungan lebih agar KPK lebih berani dan percaya diri dalam melakukan upaya mengembalikan kerugian negara yang besar lagi dari dana-dana yang telah dikorupsi.
Kita ketahui, pada masa pemerintahan di era Presiden Jokowi ini agenda-agenda besar strategis sangatlah banyak. Salah satunya pembangunan ibukota negara (IKN) Nusantara yang baru, meskipun kerap terdapat berbagai penolakan dari berbagai elemen. Dana yang diperlukan untuk membangun Ibu Kota Negara baru itu sangat dibutuhkan dengan jumlah yang besar. Sepertinya ambisi untuk mensuksesan pemindahan ibu kota kali ini sangatlah kuat. Di sisi lain, pemerintah juga sedang sibuk menggalakkan agar investasi strategis untuk masuk ke Indonesia. Selain untuk menampung pekerja-pekerja di Indonesia, juga untuk membangun perekonomian nasional secara lebih luas.
Dalam proses tersebut, sudah barang tentu bila dengan sendirinya KPK telah menjadi pilar sentral untuk mengejar uang negara yang dikorupsi sehingga bisa dikembalikan kepada negara. Dana-dana yang dikembalikan tersebut, tentu saja dapat digunakan untuk menyukseskan agenda-agenda pemerintah terutama hajatan pembanguanan strategis nasional. Dan juga, KPK menjadi mitra strategis pemerintah untuk mewujudkan good governance dengan bersih-bersih institusi negara dari korupsi. Ini penting untuk membuat investor tertarik menanamkan investasi di Indonesia sehingga persoalan maraknya jumlah pengangguran dengan dalih akibat pandemi Covid-19 juga bisa diatasi.
KPK ibarat penjaga tanaman padi dari hama perusak. Hama yang korup terhadap tanaman perlu dibasmi atau hamanya dibuat takut supaya petani berhasil meraih panen yang maksimal. Tangkap tangan oleh KPK akan membuat calon koruptor berpikir panjang sebelum melakukan aksi jahatnya. Ketakutan calon koruptor untuk melakukan suap, bermain anggaran, dan jual beli jabatan jelas akan membuat anggaran negara benar-benar diserap oleh rakyat, serta memperkuat kepercayaan publik dan moralitas ekonomi.
Maka itu, menjadi keniscayaan bagi seluruh elemen bangsa untuk mendukung upaya KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. KPK harus kuat. KPK telah menjadi jawaban untuk menyelamatkan keuangan negara dari kerusakan akibat ulah oknum yang menggunakan kekuasaanya dengan cara yang kurang tepat.