REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengatakan negara tidak boleh mengintervensi urusan pribadi warganya, termasuk soal kehidupan seksual mereka.
"Ini termasuk (ranah) privat, tidak boleh serta merta negara mencampuri; kecuali dia ada di ruang publik, itu lain soal," kata Beka dalam Forum Literasi Hukum dan HAM Digital yang disiarkan di kanal YouTube Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (DitjenIKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika, seperti dipantau dari Jakarta, Senin (21/2/2022).
Beka menegaskan ketika warga negara berada di ruang privat, seperti di rumah miliknya sendiri, tentu kehidupan seksual mereka menjadi urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh negara. Ia menyebutkan beberapa aspek kehidupan pribadi lainnya yang tidak boleh dicampuri oleh negara ialah intersepsi atau penyadapan komunikasi, yang membatasi internet tanpa alasan jelas. Selain itu juga soal pengubahan nama pribadi tidak boleh dicampuri negara karena itu merupakan hak warga.
"Kemudian, ada perlindungan dari gangguan lingkungan dan hak untuk mengembangkan hubungan dengan orang lain. Mau pacaran, mau jomblo, itu adalah hak masing-masing individu; dan negara tidak boleh mencampuri," tegasnya.
Beka mengatakan negara memiliki tugas untuk menciptakan lingkungan di mana masyarakat dapat saling menghormati hak orang lain, terlepas dari kehidupan pribadi mereka. Terkait urusan mencampuri kehidupan pribadi warga negaranya, Beka menyebut hal itu menjadi hak pribadi dan patut memperoleh perlindungan serta jaminan dari negara, termasuk hak atas perlindungan data pribadi.
"Ini kenapa kemudian Komnas HAM dan beberapa teman-teman masyarakat sipil sering kali protes kalau ada tawaran yang masuk ke ponsel kita lewat SMS (pesan singkat). Kita tidak pernah memberi persetujuan kepada mereka yang mengirim SMS blasting tersebut," ujarnya.
Para pelaku pengirim SMS dengan jumlah masif dalam waktu singkat tersebut dapat berpotensi mengakses tanpa izin data pribadi masyarakat berupa nomor telepon pengguna. Hal tersebut menunjukkan negara belum menjamin perlindungan data pribadi warganya dengan maksimal.