REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR Arsul Sani menilai ketentuan-ketentuan hukum materil terkait restitusi atau ganti kerugian bagi korban dalam peraturan perundang-undangan belum terintegrasi secara tuntas pada sistem pemidanaan dengan baik. "Kemudian tidak dijelaskan pula apakah restitusi merupakan pidana pokok atau pidana tambahan. Sebab, restitusi tidak diatur dalam KUHP," kata Wakil Ketua MPR Arsul Sani di Jakarta, Rabu (23/2/2022).
Hal tersebut ia sampaikan menyoroti putusan atau vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung terkait kasus pelecehan seksual terhadap 13 peserta didik. Putusan hakim memerintahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk membayar restitusi bagi 13 korban pemerkosaan Herry Wirawan.
Kemudian, masih mengenai restitusi, juga tidak dijelaskan siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang diharuskan memberi atau membayar restitusi kepada korban atau keluarganya. Hal tersebut lanjut dia, merujuk kepada definisi restitusi dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tidak hanya itu, politikus PPP tersebut juga menyinggung masalah prosedural dimana terdapat perbedaan prosedur pemberian restitusi bagi korban. Pada umumnya, ujar dia, restitusi diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Akan tetapi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang membuka peluang tanpa harus melalui LPSK.
Terakhir, biasanya restitusi juga disampaikan sebelum adanya putusan. Namun, Arsul mengatakan, menurut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban memungkinkan restitusi dianjurkan setelah putusan pengadilan.
Sebagaimana diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup kepada pelaku pemerkosaan 13 peserta didik Herry Wirawan. Hakim memutuskan Herry tidak dapat dikenakan hukuman lainnya berdasarkan Pasal 67 KUHP. Sehingga, hakim memutuskan biaya restitusi yang sebelumnya dituntut untuk dibebankan kepada pelaku, agar dibebankan kepada negara yakni melalui KPPPA.