REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, menuturkan, harga kedelai dunia terus mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir selama pandemi Covid-19. Kenaikan harga bahkan tembus mencapai 92 persen.
"Harga tertinggi kedelai sebelum pandemi masih 345 dolar AS per ton, per 11 Maret 2022, harga di bursa internasional sudah 607 dolar AS per ton," kata Lutfi dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR, Kamis (17/3/2022).
Di tengah kenaikan tersebut, Lutfi mengatakan pemerintah sudah menyiapkan mekanisme untuk dapat mengintervensi tingginya harga tersebut. Pasalnya, 90 persen kebutuhan kedelai di Indoensia masih ditopang oleh pasokan impor.
Kedelai digunakan sebagai bahan baku produksi tahu dan tempe yang setiap tahunnya membutuhkan pasokan kedelai sekitar 3 juta ton. Tahu dan tempe juga menjadi sumber protein termurah saat ini bagi masyarakat.
Naiknya harga kedelai itu pun berdampak negatif karena membuat tekanan tinggi terhadap para perajin tahu dan tempe.
Sebelumnya, Asisten Deputi Pangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Saifulloh, mengatakan, usulan insentif kedelai bakal diusulkan ke Presiden Joko Widodo untuk meminta persetujuan. Insentif yang disepakati yakni berupa pembayaran selisih harga antara harga pasar dengan harga yang diterima perajin.
Saifulloh, mengatakan, pemerintah akan menggunakan dana APBN untuk pembayaran selisih tersebut. Hanya saja, ia belum dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai besaran selisih harga yang akan ditanggung pemerintah dan harga kedelai yang akan diterima perajin.
"Akan diusulkan dahulu ke presiden, saat ini proses penyusuluannya belum dimasukkan. (Bantuan ini) bukan subsidi, tapi pembayaran selisih harga," kata Saifulloh.