Menurut Ghebreyesus, peningkatan pengetahuan tentang virus dan alat yang lebih baik untuk memeranginya juga menunjukkan sudah waktunya untuk perubahan strategi. Sedangkan Direktur Kedaruratan WHO Mike Ryan mengatakan, dampak dari kebijakan "zero-Covid" pada hak asasi manusia juga perlu dipertimbangkan.
"Kami selalu mengatakan sebagai WHO bahwa kami perlu menyeimbangkan langkah-langkah pengendalian terhadap dampaknya terhadap masyarakat, dampaknya terhadap ekonomi, dan itu tidak selalu merupakan kalibrasi yang mudah," kata Ryan.
Ryan juga mencatat bahwa China telah mencatat 15.000 kematian sejak virus pertama kali dilaporkan di kota Wuhan pada akhir 2019. Jumlah itu relatif rendah dibandingkan dengan hampir 1 juta di Amerika Serikat, lebih dari 664.000 di Brasil dan lebih dari 524.000 di India.
Menurut Ryan dengan fakta jumlah tersebut bahwa negara terpadat di dunia itu ingin mengambil tindakan keras untuk mengekang penularan virus corona. Namun, kebijakan zero-Covid telah menuai kritik mulai dari ilmuwan hingga warganya sendiri, yang mengarah ke siklus penguncian jutaan orang.
Sebagian besar negara lain yang awalnya memiliki pendekatan yang sama dengan Cina. Namun, sekarang setidaknya negara-negara tersebut memulai transisi ke strategi untuk hidup dengan virus. Wabah yang terus berlanjut juga menggarisbawahi betapa sulitnya menghentikan penyebaran varian Omikron yang sangat menular.
Melalui kebijakan zero-Covid, pihak berwenang mengunci area populasi besar untuk membasmi penyebaran virus sebagai tanggapan terhadap wabah virus corona, bahkan jika hanya sejumlah kecil orang yang dinyatakan positif. Salah satunya Shanghai yang memberlakukan aturan sangat ketat.
Penduduk hanya diizinkan keluar dari kompleks hanya untuk alasan luar biasa, seperti darurat medis. Banyak warga bahkan tidak diizinkan keluar dari pintu depan mereka untuk berbaur dengan tetangga. Kebijakan karantinanya juga dikritik karena memisahkan anak-anak dari orang tua dan menempatkan kasus tanpa gejala di antara mereka yang memiliki gejala.