Rabu 18 May 2022 20:13 WIB

Ahli Hukum: Kebijakan Pj Kepala Daerah Berkonsekuensi Dianggap tak Sah

Ahli hukum tata negara sebut kebijakan penjabat kepala daerah bisa dianggap tidak sah

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi Penjabat Kepala Daerah. Ahli hukum tata negara sebut kebijakan penjabat kepala daerah bisa dianggap tidak sah
Foto: republika/mardiah
Ilustrasi Penjabat Kepala Daerah. Ahli hukum tata negara sebut kebijakan penjabat kepala daerah bisa dianggap tidak sah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan, pengangkatan lima penjabat (pj) gubernur bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara keseluruhan. Menurut dia, hal ini akan berdampak pada segala kebijakan dan tindakan yang dihasilkan para penjabat akan dianggap tidak sah.

"Karena itu ada konsekuensinya kalau pemerintah tidak membuat peraturan pelaksana, dalam Undang-Undang 30/2014 itu, kalau melanggar putusan peradilan, bertentangan dengan putusan peradilan, segala kebijakan dan tindakan yang menentang putusan peradilan itu harus dianggap tidak sah," ujar Feri.

Baca Juga

"Jadi penunjukan pj yang lima kemarin berkonsekuensi tidak sah, akibatnya seluruh kebijakan dan tindakan pj kepala daerah harus dianggap juga nanti tidak sah dan akan berat kalau wakil-wakil daerah tertentu mempertanyakan kebijakan dan tindakan pj kepala daerah," ucap Feri.

Pada Kamis (12 /5/2022) lalu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melantik lima pejabat pimpinan tinggi madya menjadi penjabat gubernur Banten, Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat. Feri menjelaskan, pengangkatan penjabat lima gubernur akan berkonsekuensi tidak sah.

Pasalnya, kata dia, pemerintah tidak mengeluarkan peraturan pelaksana atau regulasi teknis yang khusus mengatur mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah sebagai tindak lanjut Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Secara eksplisit, perintah pembentukan peraturan pelaksana tertuang dalam pertimbangan MK pada putusan nomor 15/PUU-XX/2022.

Melalui peraturan pelaksana itu, MK ingin memastikan proses pengangkatan penjabat kepala daerah terukur dan jelas serta berlangsung demokratis, transparan, dan akuntabel. Menurut Feri, suatu putusan harus dibaca menyeluruh dan satu-kesatuan, termasuk bagian pertimbangan, bukan hanya amar putusan.

"Mestinya dia (Mendagri) hati-hati dong, buat peraturan pelaksananya supaya tidak dianggap bertentangan dengan putusan MK. Ini kan tidak dilakukan. Seluruh putusan itu satu-kesatuan, kecuali dissenting opinion," kata dia.

Feri melanjutkan, pengangkatan lima penjabat gubernur yang dituangkan dalam surat keputusan berupa keputusan presiden (keppres) dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dia mengatakan, Themis Indonesia akan melakukan kajian yang menjelaskan problematika pengangkatan penjabat yang tidak melaksanakan perintah MK.

"Apakah kita yang akan menggugatnya atau tim lain yang menggugatnya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement