Kamis 16 Jun 2022 15:20 WIB

Setoran Wajib Rp 1.000 per Hari dari Anggota Khilafatul Muslim

Penyelidikan menemukan setidaknya ada 14 ribu anggota Khilafatul Muslimin.

Warga melintas di samping spanduk penolakan kegiatan pendidikan Khilafatul Muslimin di Pekayon, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (15/6/2022).  Kementerian Agama tegaskan Pesantren Khilafatul Muslimin tidak terdaftar dan tidak memiliki nomor statistik Pesantren atau Lembaga Keagamaan Islam.
Foto: ANTARA/Fakhri Hermansyah
Warga melintas di samping spanduk penolakan kegiatan pendidikan Khilafatul Muslimin di Pekayon, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (15/6/2022). Kementerian Agama tegaskan Pesantren Khilafatul Muslimin tidak terdaftar dan tidak memiliki nomor statistik Pesantren atau Lembaga Keagamaan Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Ronggo Astungkoro

Polda Metro Jaya mengungkap fakta baru terkait organisasi masyarakat (ormas) Khilafatul Muslimin yang dianggap memiliki  ideologi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Terungkap, organisasi tersebut mengharuskan anggotanya menyetor iuran Rp 1.000 per orang per hari.

Baca Juga

"Dari semua warganya (anggota Khilafatul Muslimin) diwajibkan memberikan infaq sejumlah Rp 1.000 per hari,” ujar Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Hengki Haryadi dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (16/6/2022).

Lanjut Hengki, jika anggota Khilafatul Muslimin tidak melaksanakannya maka dianggap melanggar isi baiat. Iuran merupakan salah satu syarat utama untuk bergabung ke ormas Khilafatul Muslimin. Kemudian alah satu poinnya yaitu setiap warga Khilafatul Muslimin wajib setia dan patuh kepada khalifah, dalam hal ini Abdul Qadir Hasan Baraja.

Menurut Hengki, ormas yang didirikan pada tahun 1997 silam itu memiliki anggota lebih dari 14 ribu orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setiap anggotanya, kata dia, diberikan nomor induk warga (NIW) serta kartu tanda warga dari khalifah atau amr daulah.

"Untuk menjadi warga khilafatul muslimin, seseorang harus lebih dulu baiat oleh khalifah atau amir daulah kewilayahan. Apabila sudah di baiat, baru dinyatakan resmi menjadi warga Khilafatul Muslimin dan kemudian akan diberikan nomor induk warga dan kartu tanda warga," ungkap Hengki.

Kemudian uang hasil dari iuaran itu salah satunya digunakan untuk membiayai lembaga pendidikan yang didirikannya. Setidaknya Khilafatul Muslimin memiliki 25 sekolah yang dibuat mirip dengan pondok pesantren, namun kenyataannya bukan pesantren. Karena kurikulum yang digunakan sangat berbeda dengan pesantren pada umumnya.

"Dalam pelaksanaan pendidikan, tidak diperbolehkan melaksanakan upacara bendera bahkan tidak boleh ada bendera merah putih yang berkibar. Serta tidak adanya foto presiden dan wakil presiden serta lambang negara pancasila yang terpasang di ruang kelas maupun di ruang kantor organisasi Khilafatul Muslimin," terang Hengki.

Hengki menuturkan, pemimpin Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja memproklamirkan dirinya sebagai penerus kekhilafan Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 11 hijriah atau 632 masehi. Hasan Baraja sendiri mendirikan ormas Khilafatul Muslimin pada tahun 1997 silam.

"Abdul Qadir Hasan Baraja selaku pimpinan tertinggi organisasi (amirul mu'minin) menganggap dirinya sebagai penerus kekhalifahan (khalifah nomor 105) pasca meninggalnya Rasulullah SAW," ujar dia.

Secara hierarki, menurut Hengki, Hasan Baraja selaku khalifah atau Amirul Mukminin dibantu oleh tiga Amir Daulah. Kemudian Hasan Baraja membawahi seluruh wilayah Nusantara meliputi Amir Daulah wilayah Jawa, Amir Daulah wilayah Sumatra yang juga membawahi juga Kalimantan dan Amir Daulah wilayah Indonesia Timur.

Kemudian didirikannya Khilafatul Muslimin, kata Hengki, bertujuan untuk melanjutkan perjuangan Negara Islam Indonesia (NII) atau lebih dikenal sebagai Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosiwiryo. Sehingga mereka pun melakukan kaderisasi ideologi kekhalifahan yang dianggap bertolak belakang dengan ideologi Pancasila.

"Ditemukan buku-buku, artikel, dan majalah yang dijadikan sebagai pedoman serta media penyebaran ideologi Khilafatul Muslimin yang materinya berisikan ajaran yang bertolak belakang dengan ideologi Pancasila," terang Hengki.

Terkait sekolah di bawah naungan Khilafatul Muslimin, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta pemerintah untuk meninjau kembali perizinan sekolah atau madrasah tersebut. P2G namun tidak menyarankan satuan-satuan pendidikan tersebut untuk ditutup, melainkan dilakukan intervensi pendampingan dan pembimbingan lebih lanjut kepada seluruh pihak yang ada di sana.

"P2G tidak menyarankan sekolah-sekolah atau madrasah di bawah organisasi ekstrem tersebut ditutup. Karena akan merugikan dan melanggar hak-hak dasar anak memperoleh pendidikan," ujar Kepala Bidang Litbang Guru P2G, Agus Setiawan, kepada Republika, Kamis (16/6/2022).

Dia menjelaskan, selain akan berdampak kepada hak-hak dasar anak tersebut, alasan lainnya adalah karena akan berpotensi merugikan hak guru serta tenaga kependidikannya. Menurut dia, yang harus dilakukan pemerintah terhadap satuan-satuan pendidikan tersebut adalah melakukan intervensi untuk pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan kepada sekolah, guru, dan siswanya.

"P2G berharap, Mas Menteri Nadiem dan Gus Menteri Yaqut membina, mendampingi, dan merestrukturisasi kurikulum pembelajaran sekolah/madrasah di bawah organisasi berhaluan ekstrem tersebut," kata Agus.

Dia menilai, peninjauan ulang dan restrukturisasi kurikulum di satuan-satuan pendidikan tersebut sudah semestinya dilakukan. Hal itu perlu dilakukan agar desain pembelajaran mereka tidak bertolak belakang dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan struktur Kurikulum Nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Agus kemudian meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama (Kemenag), serta pemerintah daerah (pemda) untuk jangan luput melakukan pembinaan dan pendampingan dan upaya re-ideologisasi Pancasila kepada seluruh guru dan siswa sekolah yang bernaung di bawah organisasi ekstrem itu.

"Kami khawatir jika tak dilakukan, guru dan siswanya akan menjadi agen  penetrasi dan indoktrinasi ideologi radikal dan anti Pancasila di lingkungan masyarakat," kata Agus.

Pengurus Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) itu juga mendesak agar Dinas Pendidikan dan Pengawas Sekolah meningkatkan pendampingan, pengawasan, dan peningkatan kompetensi kepada guru dan sekolah di wilayahnya. Dia heran ada sekolah di daerah yang tak melakukan upacara bendera, tak memasang simbol kebangsaan Burung Garuda, serta simbol kebangsaan lainnya di sekolah tapi bisa lolos dari pengawasan.

"Jelas sekolah tidak melakukan pendidikan kebangsaan sebagaimana mestinya. Apa yang dapat kita harapkan jika SDM dan generasi bangsa kita anti Pancasila dan anti NKRI?" kata dia.

Polisi setidaknya menemukan 30 sekolah terafiliasi dengan Khilafatul Muslimin. Menteri Pendidikan Khilafatul Muslimin AS juga telah ditangkap.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement