REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG-- Ratusan warga korban banjir lahar dingin Gunung Merapi dari Dusun Candi dan Gebayan, Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, dalam beberapa hari ini telah meninggalkan tempat pengungsian mereka.
Warga kedua dusun tersebut sama-sama mengungsi di Desa Tersan Gede, Kecamatan Salam, namun mereka tinggal di tempat pengungsian yang berbeda. Warga Candi sebanyak 60 keluarga terdiri atas 154 jiwa mengungsi di Balai Desa Tersan Gede, sedangkan warga Gebayan sebanyak 113 keluarga terdiri atas 400 jiwa menempati tenda pengungsian di Lapangan Bobosan.
Mereka mengungsi sejak 9 Januari 2011, setelah kampung mereka diterjang banjir lahar dingin dari luapan Sungai Putih. Sekarang mereka telah kembali ke kampung halamannya karena merasa sudah aman, meskipun banjir lahar dingin dari Gunung Merapi sewaktu-waktu masih mengancam mereka.
Ketika di atas puncak Merapi mendung dan disusul hujan deras masyarakat di sekitar aliran Sungai Putih tersebut tetap merasa cemas, karena daerah mereka kini menjadi kawasan langganan banjir lahar dingin.
Sebenarnya pihak desa maupun pengelola tempat pengungsian tidak keberatan mereka tetap tinggal di pengungsian, namun warga sendiri yang berkeinginan untuk pulang, karena dalam beberapa pekan terakhir daerah aliran Sungai Putih cenderung aman.
Seorang warga Candi yang semula mengungsi di Balai Desa Tresan Gede, Mursidah, mengatakan, warga ingin pulang karena daerahnya diperkirakan sudah aman dari kemungkinan bahaya banjir lahar susulan.
"Namun, kalau nanti daerah kami terancam banjir lagi, kami akan kembali mengungsi," katanya.
Dusun Candi merupakan salah satu wilayah di Desa Sirahan yang menjadi korban banjir lahar. Daerah tersebut di timur aliran Sungai Putih. Jika tanggul di SMK Negeri Salam jebol, aliran air dan material Merapi akan mengalir di sebelah timur Dusun Candi sehingga dusun itu terkepung banjir.
Warga Gebayan, Ariyanto (45) yang sebelumnya menempati tenda pengungsian di Lapangan Bobosan, Tersan Gede, mengatakan kepulangan pengungsi atas kesepakatan warga karena situasi sudah dianggap aman. "Jika nanti masih terjadi banjir kami terpaksa harus mengungsi lagi," katanya.
Kepala Desa Tersan Gede, Luqman Akhmadi, mengatakan, pengungsi di balai desa telah kembali ke rumah masing-masing atas kemauan mereka sendiri, mungkin karena sudah jenuh tinggal di pengungsian.
"Namun, kami selalu siap menerima mereka kembali jika di dusunnya terjadi banjir," katanya.
Selain di balai desa, katanya, sejumlah warga Desa Sirahan mengungsi di beberapa rumah warga Desa Tersan Gede dengan kebutuhan logistik selama ini dipasok dari posko balai desa.
"Mereka kebanyakan tinggal di rumah saudaranya, tetapi juga mendapat jatah logistik dari pemerintah," katanya.
Penanggung jawab Posko Bersama GP Ansor sebagai pengelola tenda pengungsi di Lapangan Bobosan, Chabibullah mengatakan, kondisi Dusun Gebayang sekarang cukup aman karena dalam dua pekan terakhir tidak terjadi banjir.
Ia mengatakan, untuk memulihkan kehidupan perekonomian, para pengungsi dibekali dengan beberapa pelatihan, antara lain pembuatan batako, pembuatan batu sintetis untuk hiasan dan ornamen rumah.
Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Desa Sirahan, Mochamad Rokim, mengatakan terjangan banjir lahar dari Sungai Putih mengakibatkan sebanyak 291 rumah warga Sirahan rusak, terdiri atas 29 hanyut, 127 rusak berat, 48 rusak sedang, dan 87 rusak ringan.
Selain itu, katanya, banjir lahar juga mengakibatkan sekitar 30 hektare lahan pertanian di Sirahan tertimbun material vulkanik Merapi.
Berdasarkan data Posko Induk Kabupaten Magelang, jumlah pengungsi hingga sekarang mencapai 2.640 jiwa tersebar di 11 lokasi.
Sejumlah tempat pengungsian tersebut di Kecamatan Muntilan empat lokasi dengan 787 pengungsi, Kecamatan Salam tiga lokasi (1.468 pengungsi), Kecamatan Mungkid, Ngluwar, Srumbung, dan Sawangan masing-masing satu lokasi dengan jumlah pengungsi 375 jiwa.
Jumlah rumah rusak di Kabupaten Magelang akibat banjir lahar mencapai 721 rumah yang terdiri atas 129 hanyut, 307 rusak berat, 129 rusak sedang, dan 156 rusak ringan.
Selain itu, 14 jembatan runtuh antara lain Jembatan Tlatar, Blongkeng, Babadan, Prumpung, dan Srowol.
Huntara Swadaya
Sejumlah korban bencana banjir lahar dingin Merapi, yakni warga Dusun Candi, Desa Sirahan yang merasa belum nyaman tinggal di rumah karena khawatir diterjang banjir lahar terpaksa membangun hunian sementara (huntara) sepulang dari pengungsian.
Mereka secara swadaya membangun huntara tersebut karena tidak ingin bergantung pada pemerintah atau pihak lain. Huntara tersebut dibangun di sebuah ladang di Dusun Candi.
Koordinator Relawan Dusun Candi Sukirman mengatakan, sembilan keluarga membangun huntara, tiga di antaranya membangun di lahan milik sendiri, yakni keluarga Sutinah, Seneng, dan Sutrisno.
Sedangkan enam keluarga lainnya menyewa lahan untuk membangun huntara, yakni keluarga Supriyadi, Purnomo, Wahyudin, Sukirman, Suparyono, dan Sukisman. Mereka yang membangun huntara secara swadaya tersebut merupakan warga Candi yang rumahnya rusak atau hilang.
"Huntara ini kami bangun di atas sawah milik warga yang kami sewa setahun Rp600 ribu," kata Sukirman.
Seorang warga yang sedang membangun huntara, Supriyadi mengatakan membangun huntara secara mandiri lebih terhormat ketimbang harus mengandalkan bantuan dari pemerintah maupun donatur.
Apalagi, huntara pemerintah dibangun di lokasi yang jauh dari Dusun Candi sehingga menyulitkan aktivitas warga. "Kami hanya petani kecil dan penambang pasir. Jika harus bolak balik tentu pendapatan kami habis untuk transportasi. Lebih baik kami membangun huntara sesuai kemampuan kami, yang penting dapat untuk berteduh," katanya.