REPUBLIKA.CO.ID, BIMA – Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB), Brigjen Pol Arief Wachyunadi, menegaskan, tindakan polisi dalam membubarkan paksa ratusan demonstran yang memblokir Pelabuhan Sape di Kabupaten Bima, telah sesuai dengan prosedur tetap (protap) yang digariskan.
"Tugas polisi adalah melindungi, mengayomi, melayani serta menegakkan hukum. Dan penegakan hukum yang terjadi Sabtu (24/12) lalu itu, sudah melalui mekanisme prosedur tetap pengendalian stabilitas kamtibmas," kata Kapolda Arief di Bima, Senin (26/12).
Kapolda NTB selama dua hari ini berkantor di Kabupaten Bima untuk memastikan situasi di wilayah tersebut benar-benar aman pasca tragedi berdarah yang muncul di Pelabuhan Sape akhir pekan lalu.
Kapolda juga sempat meninjau langsung dermaga Pelabuhan Sape yang menghubungkan jalur penyeberangan dengan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Menurut dia, sebelum terjadi insiden berdarah yakni bentroknya para demontran dengan petugas pagi itu, polisi sejak dua hari sebelumnya telah melakukan pendekatan kepada mereka yang menduduki pelabuhan dengan menggunakan pola humanis.
Bahkan beberapa kali polisi meminta agar warga yang sejak 19 Desember lalu menduduki pelabuhan, agar segera membubarkan diri. "Namun, pendekatan yang kami lakukan dengan cara dialogis dan humanis seperti itu, selalu mengalami kebuntuan," jelas Arief.
Polisi, lanjut Arief, sudah berkali-kali mengajak para demonstran untuk segera dapat membuka jalur menuju pelabuhan yang tengah mereka blokir. Namun, warga tetap bersikeras tidak mau pergi. "Jadi, karena mereka tetap membandel, ya terpaksa harus kami bubarkan secara paksa demi kepentingan masyarakat luas," kata dia.
Kapolda menyebutkan bahwa sebelum gerakan pembubaran paksa dilakukan, polisi telah berkali-kali mengeluarkan tembakan peringatan, dengan harapan para demonstran mau meninggalkan tempat kejadian. "Namun justru sebaliknya, tembakan peringatan tersebut malah mendapat perlawan dari warga dengan melempari polisi menggunakan batu," ujarnya.