REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memiliki urgensi apabila membawa paradigma baru, modern, dan kekinian tentang hukum pidana. Meskipun Indonesia membutuhkan pengaturan agar lebih tertib, paradigma hukum pidana harus berbeda dari warisan kolonial Belanda.
"Jadi, jangan hukum pidana yang semuanya kita tidak boleh dan ketakutan karena bisa dikenakan sanksi pidana seperti halnya hukum zaman kolonial Belanda," kata Bivitri yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu, di Jakarta, Selasa (12/7/2022).
Pada saat zaman Kolonial Belanda, pribumi ditekan supaya tidak boleh memberontak dan kritis terhadap pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari pengasingan Soekarno ke Boven Digoel dan Banda Neira.
"Itu karena hukum kolonial menekan kita," ujar Bivitri.
Namun, dia mengatakan, apabila RKUHP saat ini masih membawa semangat kolonialisme, maka belum mendesak dan perlu dilakukan pembahasan mendalam. Ia mengatakan, meskipun KUHP saat ini sudah berusia 105 tahun, tidak semua paradigma di dalamnya bisa diterapkan di Indonesia dalam konteks kekinian.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto meminta pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lebih masif menyosialisasikan terkait 14 pasal krusial dalam RKUHP yang masih menjadi perdebatan publik. "Sosialisasi yang dilakukan pemerintah harus lebih masif terkait 14 pasal yang menjadi sorotan publik. Ini sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat," kata Didik.