REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Indonesia masih memiliki pendapatan negara dengan pertumbuhan relatif baik dari meningkatkan ekspor komoditas di tengah ancaman krisis global.
Pendapatan negara yang terjaga itu pula membuat Pemerintah masih dapat membelanjakan subsidi di APBN untuk menjaga daya beli masyarakat, kata Jokowi usai bertemu sejumlah pimpinan lembaga tinggi negara di Istana Negara Jakarta, Jumat.
"Kami menyampaikan ke beliau-beliau (pimpinan lembaga tinggi negara) mengenai angka-angka itu, fakta-fakta itu, kalau kita masih ada income negara dari komoditas. Komoditas masih baik, ya kami jalani, tapi kalau tidak?" kata Presiden.
Saat ini belanja subsidi Pemerintah mencapai Rp 502 triliun, yang menurut Jokowi anggaran tersebut terlalu besar. Namun, tambahnya, Pemerintah harus mengalokasikan anggaran subsidi sebesar itu karena kenaikan harga komoditas energi dan pangan di pasar global.
Pemerintah mengucurkan subsidi untuk menahan agar harga komoditas pangan dan energi yang dikenakan ke masyarakat tidak meningkat karena terdampak fluktuasi harga di pasar global.
"Tapi, apakah angka Rp 502 triliun itu terus kuat kita pertahankan? Kalaubisa alhamdulilah. Artinya, rakyat tidak terbebani; tapi kalau APBN tidak kuat bagaimana?" katanya.
Sementara itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo, yang ikut hadir dalam pertemuan, mengatakan Pemerintah belum sampai pada keputusan untuk menurunkan subsidi.
Seluruh pembantu Presiden, yakni jajaran menteri,sedang mengkalkulasi subsidi dan risiko, jika terjadi penyesuaian besaran subsidi, kepada harga barang dan jasa di masyarakat, katanya.
"Karena ini juga sudah masuk tahun politik, takutnya ada yang gosok-gosok jadi persoalan lain, dihitung sesuai kemampuan. Intinya, Pemerintah punya keinginan kuat meringankan beban masyarakat dan menarik nafas lega dari COVID-19," ujar Bambang.
Turut hadir pula dalam pertemuan tersebut ialah Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)Anwar Usman, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Isma Yatun, Ketua Mahkamah Agung (MA) M.Syarifuddin, dan Ketua Komisi Yudisial (KY)Mukti Fajar Nur Dewata.