REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengemukakan pentingnya perlindungan saksi yang akan memberikan keterangan di sidang pengadilan HAM berat Paniai. Perlindungan mereka dalam rangka membuka tabir kebenaran atas kasus itu.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab menjelaskan, perlindungan saksi dan korban dalam kasus pelanggaran HAM ialah amanat Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000. Aturan itu menyebutkan setiap korban dan saksi pelanggaran HAM berat berhak atas perlindungan fisik, mental, ancaman gangguan teror, dan kekerasan dari pihak mana pun.
"Ada perintah bagi lembaga perlindungan untuk lindungi saksi dan korban. Kenapa saya sampaikan? Karena banyak yang abai," kata Amiruddin dalam webinar pada Kamis (18/8/2022).
Amiruddin sudah menyimak tiga sidang pengadilan HAM sebelumnya, yaitu kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984, dan peristiwa Abepura 2000. Dalam pengamatannya, ia menemukan fungsi perlindungan saksi belum maksimal.
Dalam tiga sidang kasus itu memang belum terbentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Perlindungan terhadap saksi tidak berjalan maksimal di sidang HAM sebelumnya. Dulu enggak ada lembaga perlindungan saksinya," ujar Amiruddin.
Sidang pengadilan HAM berat Paniai rencananya berlangsung pada bulan ini di Makassar. Sedangkan para saksi tinggal di Bumi Cendrawasih. Menurut Amiruddin, kondisi ini harus ada jalan keluar secepatnya demi memaksimalkan keterangan para saksi.
"Karena ini antara lokasi kejadian dengan lokasi sidang jauh, jika hakim ingin saksi hadir secara fisik siapa yang tanggungjawab hadirkan saksi di majelis hakim? Karena dari jarak itu ada konsekuensinya, misalnya biaya siapa yang bayar," kata Amiruddin.
"Tentu ini tantangan bagi LPSK. Supaya saksi tidak terbebani secara psikis untuk hadiri panggilan majelis hakim. Kalau enggak ya dia terbebani berangkat gimana, tinggal di sana gimana, selamat enggak sampai rumah," lanjut Amiruddin.
Amiruddin mendorong agar perlindungan saksi dalam sidang kasus Paniai segera terealisasi. Sebab, ia meyakini kualitas persidangan dipengaruhi oleh keterangan para saksi yang dihadirkan.
"Mata kita perlu sama-sama kita tujukan ke proses pengadilan karena jalannya pengadilan ini dianggap fair atau enggak tergantung kualitas kesaksian dan kehadiran saksi secara maksimal," kata Amiruddin.
Diketahui, dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini, penyidik pada Jampidsus, menetapkan IS sebagai tersangka tunggal, Jumat (1/4/2022). IS adalah anggota militer yang menjabat sebagai perwira penghubung saat peristiwa Paniai Berdarah terjadi 2014 lalu.
Tersangka IS dituding bertanggung jawab atas jatuhnya empat korban meninggal dunia, dan 21 orang lainnya luka-luka dalam peristiwa demonstrasi di Paniai. Mengacu rilis resmi, tim penyidik, menjerat IS dengan sangkaan Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU 26/200 tentang Pengadilan HAM.