REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seringkali kita temukan pembeli mencicipi buah sebelum membelinya. Hal ini untuk mengetahui apakah rasa buah tersebut sesuai dengan yang mereka inginkan sehingga tidak merasa tertipu.
Bagaimanakah hukum mencicipi makanan atau buah? Berikut ini penjelasan Direktur Rumah Fikih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat kepada Republika.co.id.
Menurutnya, hukum mencicipi makanan di suatu tempat berhubungan dengan 'urf atau kebiasaan, tradisi yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Dalam mazhab Syafi'i dan Hanafi, 'urf atau tradisi adalah salah satu sumber hukum.
Menurutnya, apabila kebiasaan dan tradisi yang ada di supermarket atau penjual buah tersebut memang membolehkan pembeli mencicipi makanan atau buah-buahan sebelum membayar, maka hukumnya boleh. Tetapi, jika tradisi di supermarket itu melarang pembeli mencicipi dagangannya, maka harus mengikuti aturan yang sudah berlaku di supermarket tersebut.
"Kalau kebiasaan dan tradisi di supermarket itu tidak dibenarkan mencicipi atau setidaknya harus minta izin dulu, maka kita harus ikuti apa yang sudah berlaku," ujar Ustaz Ahmad.
Ahmad melanjutkan, sama halnya dengan memasuki restoran, apakah dibolehkan mengambil makanan sendiri ataukah harus diambilkan oleh pelayan, itu juga tergantung dari ketentuan yang berlaku di restoran tersebut. Setiap restoran, pasti mempunyai kebijakan masing-masing.
"Restoran all you can eat misalnya membolehkan para pengunjung mengambil makan sendiri sebanyak-banyaknya sepuasnya, asal jangan dibungkus dibawa pulang. Berarti begitulah peraturannya dan kita harus ikut," kata Ahmad.
Oleh karenanya, apabila seseorang mencicipi makanan atau buah-buahan di supermarket, namun tradisi supermarket tersebut tidak mengizinkan maka hukumnya haram. Seseorang itu harus meminta maaf dan membayar makanan yang telah dimakannya.
"Ya tidak boleh dan haram, kalau sudah terlanjur 'Ya saya minta maaf dan tanya saya harus bayar atau bagaimana'," ujar Ustadz Ahmad.