REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Dessy Suciati Saputri
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyoroti kinerja dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di balik merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak. Kasus ini diduga karena adanya zat ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) di dalam obat sirup cair yang selama ini beredar luas di masyarakat.
Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir menyayangkan hingga saat ini 143 anak meninggal akibat gagal ginjal akut. Hal ini menggambarkan bahwa fatality rate kasus ini sangat tinggi atau di atas 50 persen dari jumlah yang dilaporkan sejauh ini yakni 255 kasus di seluruh Indonesia. Kemungkinan data ini akan terus bertambah dalam beberapa hari ke depan.
Jika benar kejadian besar ini terjadi karena kandungan zat yang berada di dalam obat-obatan, menurut Tony, selain industri farmasi ikut bertanggung jawab terhadap keamanan dan mutu obat, BPOM sebagai pemangku kepentingan dalam hal ini pun harus ikut bertanggung jawab juga. Di mana salah satu tugas dan fungsi BPOM adalah mengeluarkan izin edar obat atau makanan hingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat secara aman.
“Kita juga tahu bahwa BPOM tugasnya melakukan pengawasan pre-market dan post-market. Mereka juga menjadi pihak yang melakukan uji laboratorium guna mengetahui apakah obat sirup ini telah memenuhi syarat keamanan,” kata Tony di Jakarta, Selasa (25/10/2022).
Atas dasar itu, Tony mempertanyakan bagaimana mekanisme kerja BPOM dalam memeriksa kandungan, komposisi, dan izin edar dari obat dan makanan yang dikonsumsi masyarakat. Bahayanya, bagi Tony jika pemeriksaan ini dilakukan tidak rutin sehingga hal ini dapat terjadi, dan tidak menutup kemungkinan terjadi obat dan makanan jenis lainnya.
“Tentu jangan sampai sudah kecolongan seperti ini kita panik seluruhnya, dievaluasi, dan ditarik kembali setelah jatuhnya korban,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Haryanto menilai kejadian ini adalah fenomena gunung es yang selama ini dialami oleh pasien gagal ginjal akut pada anak di Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab kesehatan masyarakat harus meningkatkan kinerjanya agar kejadian ini tidak banyak memakan korban.
Kejadian ini sekaligus membuka tabir bahwa pemerintah selama ini melupakan sistem kesehatan ginjal tidak hanya bagi orang dewasa namun juga pada anak. Saat ini, fasilitas kesehatan ginjal di Indonesia cenderung sangat minim dan tidak merata.
Mulai dari fasilitas kesehatan, mesin dialisis, hingga tenaga kesehatan, perawat serta dokter ginjal dewasa dan anak hanya terpusat di Jawa dan Bali.
“Kami mendesak pemerintah agar segera membangun fasilitas kesehatan ginjal pada anak. Khususnya menyediakan mesin cuci darah untuk anak, karena memang saat ini terbatas jumlahnya. Makanya setelah terjadi kejadian ini yang membutuhkan cuci darah, kematian pada anak cukup tinggi karena fasilitasnya sangat minim dan sistem antrian yang panjang,” kata Petrus.
Bagi Petrus, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus gagal ginjal akut pada anak dan membangun fasilitas kesehatan yang memadai di seluruh wilayah Indonesia bukan tidak mungkin angka mortalitasnya akan terus meningkat. Apalagi, tidak semua orang tua memiliki biaya untuk datang ke Jakarta demi mengobati anaknya.
“Faskes pertama harus melakukan tindakan preventif dan promotif, bagaimana berhubungan dengan masyarakat, bagaimana bahayanya penggunaan obat secara bebas, bahwa sebisa mungkin sakit diobati di faskes dan bukan diobati secara mandiri,” tutupnya.