REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harusnya bisa dikenakan sanksi pidana dalam kasus obat sirop yang diduga menyebabkan gagal ginjal akut pada anak (GGPA). Menurutnya, keterlibatan BPOM memenuhi unsur kausalitas.
BPOM bersama Bareskrim Polri telah menindak dua produsen obat imbas ditemukannya kandungan etilen glikol (EG) maupun dietilen glikol (DEG). Dua industri farmasi tersebut, yakni PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Berdasarkan temuan, kedua industri farmasi swasta itu menggunakan bahan baku Propilen Glikol yang melampaui ambang batas aman pada produk obat sirop. "BPOM juga semestinya ditarik sebagai pihak yang turut bertanggungjawab karena mengacu pada teori sebab akibat (kausalitas) BPOM juga berkontribusi menjadi faktor musabab yang tidak dapat dihilangkan perannya," kata Azmi dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Selasa (1/11/2022).
Azmi menyatakan BPOM tak menjalankan tugasnya dengan baik hingga obat-obat tersebut bisa beredar. Padahal berdampak obat tersambung mempunyai kandungan yang membahayakan jiwa bagi anak anak. "Sehingga BPOM dapat dipersalahakan karena ikut berbuat kelalaian," ujar Azmi.
Azmi mengingatkan tupoksi BPOM yang seharusnya dilakukan dalam pengawasan obat. Hal itu termuat dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM. Dimana BPOM bertanggungjawab menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, serta menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar.
"Kalau ditemukan ada penyimpangan dalam tugas dan fungsi BPOM, maka berlaku pulalah pertanggungjawaban dan aturan pidana bagi unit BPOM yang membidangi pengawasan obat, pengawasan produksi, pengawasan distribusi, baik sebelum beredar maupun selama beredar," ucap Azmi.
Di sisi lain, Azmi tetap mendukung pengusutan terhadap PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries. Hal ini terkait dugaan mengganti komposisi obat dan tidak memberitahukan ke BPOM.
"Kepada pelaku harus bertanggungjawab atas segala akibat sehingga karenanya harus dijerat dengan ancamanan maksimal dan pemberatan pidana serta denda maksimal termasuk cabut izin produksinya karena telah mengakibatkan kematian bagi anak anak," sebut Azmi.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan terdapat total 269 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia yang tercatat per 26 Oktober 2022. Dari total angka tersebut, sebanyak 73 kasus masih dirawat, 157 kasus meninggal dunia, dan sembuh 39 kasus.