Sabtu 12 Nov 2022 11:20 WIB

Perludem: Perppu UU Pemilu Melebar, tidak Sekalian Hapus Presidential Threshold?

Fadli menyarankan agar ketentuan presidential threshold dihapus.

Rep: Febryan. A/ Red: Muhammad Fakhruddin
Perludem: Perppu UU Pemilu Melebar, tidak Sekalian Hapus Presidential Threshold? (ilustrasi).
Foto: republika/mgrol100
Perludem: Perppu UU Pemilu Melebar, tidak Sekalian Hapus Presidential Threshold? (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyoroti proses perancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU Pemilu yang melebar dari tujuan awal. Dari semula untuk mengakomodasi tiga provinsi baru di Papua agar bisa ikut Pemilu 2024, kini turut membahas penyeragaman masa jabatan komisioner KPU daerah. 

Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan, munculnya usulan pasal selain soal provinsi baru di dalam Perppu adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam proses pembuatan produk hukum. Baginya, tak masalah muatan Perppu melebar dari tujuan awal, asalkan tidak mengubah hal-hal yang berdampak besar terhadap struktur penyelenggaraan pemilu yang sudah berjalan. 

Baca Juga

"Kalau sekarang dia (Pemerintah merancang Perppu) soal syarat partai politik peserta pemilu, itu kan mengacaukan tahapan. Sebab, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan," kata Fadli kepada wartawan, Sabtu (12/11). Untuk diketahui, proses pendaftaran partai peserta Pemilu 2024 sudah hampir mencapai tahap akhir. 

Menurut Fadli, jika Pemerintah memang membuka ruang untuk pasal-pasal selain soal provinsi baru, maka sebaiknya hanya terkait hal-hal yang perlu, tapi tidak mengacaukan tahapan pemilu. Salah duanya adalah mengatur ulang masa jabatan komisioner KPU daerah dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. 

"Yang jauh lebih besar misalnya soal ambang batas pencalonan presiden. Kan pencalonan presiden masih tahun depan. Nah, bisa saja dihilangkan saja (ambang batas) kalau memang masih ada ruang untuk pasal-pasal selain provinsi baru," kata Fadli. 

Untuk diketahui, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden bisa dilakukan jika partai politik (parpol) atau gabungan parpol punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. 

Pasal ini sudah puluhan kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai menghambat peluang partai mencalonkan presiden maupun masyarakat untuk mendapatkan calon presiden sebanyak mungkin. Tapi MK menolak semua gugatan itu. 

Sebenarnya, pengubahan pasal atau penghapusan pasal tersebut bisa dilakukan lewat revisi UU Pemilu di parlemen. Hanya saja, DPR menolak untuk merevisi UU Pemilu. Hal itu terbukti ketika hampir semua fraksi DPR sepakat mengeluarkan revisi UU Pemilu dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 dalam rapat Baleg DPR RI pada awal 2021 lalu. 

Karena itu, Fadli menyarankan agar ketentuan presidential threshold dihapus lewat Perppu UU Pemilu. "Buat jadi nol saja ambang batas pencalonan presiden supaya calon presiden jadi lebih banyak. Kan tinggal menghilangkan Pasal 222. Itu tidak sulit, tapi mereka kemungkinan tidak mau kan," katanya. 

Sebagai informasi, Perppu UU Pemilu ini awalnya dibuat untuk mengakomodasi tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua agar bisa ikut Pemilu Serentak 2024. Tapi, dalam pembahasannya, muatan Perppu itu melebar.  

“Saat konsinyering pertama, kami sepakat akan merevisi Perppu Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang pemilu karena penambahan DOB dan tambahan kursi di Papua. Namun pembicaraan berkembang, ada usulan baru terkait penataan keserentakan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu provinsi, kabupaten/Kota,” ungkap Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, pada awal November lalu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement