REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritisi dimasukkannya pengaturan genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan ke dalam Bab Tindak Pidana Khusus yaitu pada Pasal 600 dan Pasal 601 RKUHP. KontraS menilai hal ini membuktikan tidak kompetennya DPR soal pelanggaran HAM berat.
Dalam RDP bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP di Parlemen, KontraS menyampaikan beberapa keberatan terkait rancangan pasal tindak pidana yang berat terhadap HAM.
KontraS berpendapat tidak ada urgensi mengatur tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam RKUHP. Apalagi Indonesia telah memiliki UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) yang mengatur genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Alih-alih mencoba mamasukkan pengaturan serupa ke dalam RKUHP, pemerintah lebih baik menuntaskan proses penyidikan dan penututan terhadap kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat khususnya Pelanggaran HAM Berat masa lalu," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya, Kamis (17/11).
KontraS juga menyoroti RKUHP yang dengan tegas mengatur asas non-retroaktif serta daluarsa penuntutan. Kedua pengaturan tersebut jika diterapkan pada tindak pidana yang berat terhadap HAM bakal menyulitkan proses pengungkapan kasus serta upaya mengadili pelaku Pelanggaran HAM Berat masa lalu.
KontraS mengamati ancaman pidana maksimum pada tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan dalam RKUHP lebih rendah dibanding UU Pengadilan HAM.
"Jika UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana maksimal 25 tahun bagi Pelanggaran HAM Berat, maka RKUHP 'hanya' memberikan ancaman pidana maksimal 20 tahun bagi tindak pidana yang berat terhadap HAM," ujar Fatia.
Selain itu, KontraS menyayangkan minimnya perhatian Komisi III DPR atas berbagai pendapat itu. Komisi III DPR-RI pun tak merespon KontraS terkait tidak adanya urgensi memasukkan tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam RKUHP.
"Kurangnya perhatian DPR-RI kepada persoalan pelanggaran HAM berat ini paling tidak menunjukkan bahwa selain minim kepedulian DPR-RI juga nampaknya tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai konsekuensi yang ditimbulkan dengan dimasukkannya pengaturan tindak pidana yang berat terhadap HAM," ucap Fatia.
KontraS mengingatkan DPR-RI seharusnya memahami implikasi yang dapat ditimbulkan jika tindak pidana yang berat terhadap HAM dimasukkan ke dalam RKUHP.
Misalnya penyesuaian besar-besaran serta penyatuan kembali persepsi mengenai tindak pidana yang berat terhadap HAM perlu dilakukan hingga akan semakin menghambat proses penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu.
"Implikasi semacam itu mungkin tidak terpikirkan sehingga DPR-RI khususnya Komisi III tidak memberi perhatian serius bagi rancangan pengaturan tindak pidana yang berat terhadap HAM," tegas Fatia.