Selasa 06 Dec 2022 13:22 WIB

Ketua Komisi III Akui Masih Ada yang Menolak RKUHP, Tapi Tetap Disahkan

Bambang mengeklaim KUHP tidak akan pernah sempurna karena produk manusia.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ilham Tirta
Bambang Wuryanto.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Bambang Wuryanto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dan pemerintah telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Indang pada Selasa (6/12/2022). Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto mengatakan, RKUHP yang kini disebut KUHP telah melewati perjalanan panjang sejak 1963.

"Kami tidak pernah mengatakan ini pekerjaan sempurna, karena ini adalah produk dari manusia. Tidak akan pernah sempurna," ujar Bambang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/12/2022).

Baca Juga

Karena itu, kata dia, wajar jika masih ada sebagian elemen masyarakat yang tak setuju terhadap sejumlah pasal dalam UU KUHP. Ia pun mendorong pihak yang tak sepakat untuk mengajukan gugatan atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, UU tersebut kini sudah disahkan.

"Nah kalau ada memang merasa sangat mengganggu, kami persilakan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu berdemo. Kita berkeinginan baik, dikau juga berkeinginan baik," ujar Bambang.

Sejak awal pembahasan, para pegiat hukum telah menolak sejumlah pasal dalam RKUHP, salah satunya pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. Namun, DPR dan pemerintah bersikukuh mempertahankan dua pasal yang kemudian disatukan tersebut.

Dalam rapat pengesahan UU KUHP pada Selasa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyampaikan catatannya. Dalam interupsinya, ia mengkritisi Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.

"Pasal 240 yang menyebutkan, yang menghina pemerintah atau lembaga negara dihukum 3 tahun. Ini pasal karet yang akan menjadikan negara Indonesia dari negara demokrasi menjadi negara monarchy," ujar Iskan dalam interupsinya di rapat paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023.

Ia juga mengkritisi Pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden. Menurutnya, kedua pasal tersebut berpotensi mengambil hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat.

"Di seluruh dunia rakyat itu harus mengkritik pemerintahnya, tidak ada yang masuk, yang tidak punya dosa hanya nabi. Presiden pun harus dikritik," ujar Iskan.

"Jadi saya meminta supaya, saya nanti akan mengajukan ke MK pasal ini, saya sebagai wakil rakyat saya tidak penting sudah diputuskan di sana," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement