Jumat 09 Dec 2022 13:45 WIB

'Panggung Sandiwara' Pengadilan Kasus HAM Berat Paniai Berdarah

Komnas HAM membeberkan kejanggalan kasus Paniai sejak penyidikan hingga persidangan.

Terdakwa tunggal kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu saat divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12).
Foto: Republika/Rizky Surya
Terdakwa tunggal kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu saat divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Bambang Noroyono, Rizky Suryarandika

Putusan bebas terhadap terdakwa kasus pelanggaran HAM berat, Paniai Berdarah, mantan anggota TNI, Isak Sattu dinilai sebagai menegaskan semua keraguan yang telah disuarakan korban. Bahwa, peradilan itu hanyalah 'panggung sandiwara' yang digelar bukan untuk memberikan keadilan, kebenaran, dan pemulihan yang sejati.

Baca Juga

“Apa yang telah kita saksikan hari ini adalah parodi keadilan. Putusan ini merupakan tamparan bagi korban dan keluarga korban penembakan di Paniai, bahkan bagi korban pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia yang bertahun-tahun menuntut keadilan," kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat (9/12/2022).

Menurut Usman, putusan itu menjadi pengingat bahwa para prajurit yang bertanggung jawab secara pidana dalam penembakan, termasuk pelaku langsung, komandan militer dan atasan lainnya di dalam kekejaman tersebut, masih buron. Keadilan tidak akan pernah tegak jika impunitas dipelihara.

“Karena pengadilan mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan namun tanpa pelaku, maka Negara harus segera membuka kembali penyelidikan tragedi Paniai, sehingga semua pelaku diinvestigasi dengan segera, efektif, menyeluruh dan tidak memihak dan, jika ada cukup bukti, diadili dalam persidangan yang adil di hadapan pengadilan yang berkompeten dan adil," ungkap Usman.

Sebelumnya, pengacara publik LBH Jakarta, Teo Reffelsen juga menilai, pengadilan perkara HAM berat, Paniai Berdarah memang diniatkan untuk gagal. Hanya ada satu tersangka yang kemudian 'diseret' ke pengadilan, kata Teo, menjadi salah satu kejanggalan dari kasus ini.

 

"Jika hanya satu terdakwa saja dan sampai saat ini hanya satu yang divonis, sebenarnya peradilan kasus pelanggaran berat HAM Paniai itu sepertinya sejak awal dimaksudkan untuk gagal (intended to fail)," kata Teo dihubungi Republika, Kamis (8/12/2022).

Teo menjelaskan, diadilinya satu terdakwa itu menjadi bukti bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) gagal untuk mengungkap struktur komando, struktur pertanggungjawaban, dan alur komunikasi dari peristiwa Paniai Berdarah. Sehingga menurut dia, aparat penegak hukum dianggap tidak serius mengusut kasus tersebut.

"Kalau tidak serius itu sejak awal (terjadi), lihat saja Kejaksaan Agung gagal mengungkap struktur komando dan pertanggungjawaban," jelas dia.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement