REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Keppres Nomor 114/P/2022 terkait pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Guntur Hamzah untuk menggantikan Hakim MK Aswanto digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Gugatan bernomor 2/G/2023/PTUN.JKT tersebut diajukan Dr Ir Priyanto, SH, MH, MM, sosok yang sebelumnya mengajukan Judicial Review Pasal 87 huruf b UU MK dengan perkara 96/PUU-XVIII/2020. Priyanto menilai pengangkatan Hakim MK Guntur Hamzah menyalahi prosedur UU MK.
Guntur Hamzah sendiri diangkat untuk menggantikan Aswanto yang diberhentikan DPR. Polemik kasus ini sebelumnya mencuat ke publik.
Dalam siaran persnya, Priyanto menyatakan akan melanjutkan upaya melawan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 114/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh DPR. ”Gugatan saya telah terdaftar di PTUN Jakarta,” kata Priyanto di Jakarta, Rabu (1/4/2022).
Gugatan PTUN, tegas Priyanto merupakan tindak lanjut dari penolakan Presiden atas keberatan yang diajukannya.
Menurut Priyanto, Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara memberikan jawabannya dalam surat Nomor B-1231/M/D-3/AN.01.00/12/2022 tertanggal 23 Desember 2022.
Jawaban Mensesneg diterimanya pada 27 Desember 2022. Isinya menyebutkan permohonan keberatan administratif Saudara tidak dapat dikabulkan karena penetapan Keputusan Presiden dimaksud sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Priyanto mengaku tidak ada keterangan atau penjelasan atau alasan lebih lanjut yang disebutkan dalam surat Mensesneg.
”Jadi, saya sendiri tidak paham dengan isi surat dimaksud terutama terkait dengan di bagian mana dan bagaimana surat dimaksud dikatakan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” cetus Priyanto yang juga berprofesi sebagai advokat.
Dia berpendapat baik secara prosedural maupun secara materiil, penerbitan serta subtansi Keppres adalah cacat dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU MK.
Menurut Priyanto secara prosedural suatu tindakan pemberhentian dan perbuatan pengangkatan Hakim Konstitusi merupakan dua peristiwa yang terpisah dengan proses hukum yang berbeda sehingga keduanya tidak dapat dituangkan dalam satu Keppres.
Priyanto menyebut proses pemilihan calon Hakim Konstitusi harusnya dilakukan secara partisipatif, obyektif serta akuntabel. Aspek substantif yang dapat dipergunakan sebagai alasan pemberhentian juga tidak terpenuhi.
”Tentunya, saya sangat kecewa dengan penolakan itu. Patut disayangkan, Presiden atau dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara tidak menyelenggarakan pertemuan atau audiensi terlebih dahulu dengan saya selaku pemohon,” ujar dia.