Selasa 24 Jan 2023 16:46 WIB

Siti Zuhro: Jabatan Kades 9 Tahun Membuka Peluang Korupsi 

Maja jabatan yang panjang itu dinilai membuat Kades merasa sangat berkuasa.

Rep: Febryan. A/ Red: Teguh Firmansyah
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Siti Zuhro menentang rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kades), dari enam menjadi sembilan tahun. Dia menilai, perpanjangan masa jabatan itu bakal membuka peluang kades untuk korupsi. 

Siti mendasarkan argumentasinya itu kepada pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, pada abad ke-19, yakni "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely". Adagium yang sangat populer tersebut berarti kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak. 

Baca Juga

Siti menjelaskan, ketika masa jabatan kades diperpanjang jadi sembilan tahun, dan bisa menjabat dua periode atau tiga periode, tentu total masa jabatan seorang kades bisa mencapai 18 tahun atau 27 tahun.

Masa jabatan yang panjang itu akan membuat seorang kades amat berkuasa, yang pada akhirnya membuka peluang dia untuk korupsi.  "Karena itu, jangan diberikan kesempatan kepada kepala desa (untuk korup) dengan memperpanjang masa jabatannya," kata Siti kepada wartawan, Selasa (24/1/2023). 

Pernyataan Siti ini sebenarnya sejalan dengan fakta lapangan. Dengan masa jabatan enam tahun sudah banyak kades yang ditangkap karena kasus korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2012 hingga 2021 menemukan bahwa ada 686 kades yang mencuri dana desa. 

Selain membuka peluang korupsi, kata Siti, perpanjangan masa jabatan kades juga menghentikan sirkulasi elite atau pergantian kepemimpinan di desa. Padahal, sirkulasi elite dengan memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat yang berkompeten untuk menjadi pemimpin adalah keharusan dalam sistem demokrasi. 

"Kalau langsung 9 tahun, lalu dipilih lagi 9 tahun, itu namanya sama saja dengan era feodal. Jabatannya terus menerus," ujarnya. 

Siti pun berpendapat bahwa perpanjangan masa jabatan kades bukan cara yang tepat memajukan desa. Menurutnya, pemajuan desa bukan ditentukan oleh durasi jabatan seorang kades, tapi oleh efisiensi kepemimpinannya. 

Dia mencontohkan ihwal efisiensi ini dengan kinerja Tri Rismaharini memimpin Kota Surabaya. Dalam lima tahun periode pertama jabatannya, Risma dinilai bisa bekerja dengan efektif menata Kota Surabaya. "Jadi kepemimpinan itu persoalan efisiensi, bukan lama tidaknya masa jabatan," ujarnya. 

Karena itu, Siti mematahkan sejumlah argumentasi yang dilontarkan pihak pendukung perpanjangan masa jabatan kades. Sejumlah kades diketahui mendukung perpanjangan masa jabatan karena modal kampanye pilkades Rp 400 juta atau lebih, sedangkan gaji per bulan hanya Rp 7 juta. Dengan memperpanjang masa jabatan, kades bisa balik modal. 

"Alasannya karena duitnya banyak terkuras untuk pilkades, ya salah dia sendiri kenapa money politik atau vote buying," kayak Siti. 

Siti turut mematahkan argumentasi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar. Halim sebelumnya menyatakan, perpanjangan masa jabatan diperlukan karena dua tahun awal kepemimpinan kades dihabiskan untuk mengurus perseteruan masyarakat akibat pilkades. Alhasil, selama dua tahun awal itu pembangunan desa tersendat. 

"(Soal konflik usai pemilihan) apa bedanya dengan di kabupaten dan kota. Tidak seperti itu juga, karena masyarakat desa itu punya wisdom. Saya tahu karena saya ini anak desa," kata perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, itu. 

Terkait konflik pasca-pemilihan ini, lanjut Siti, sebenarnya tergantung kepemimpinan kades itu sendiri. Kades yang mumpuni tentu bisa meredam konflik yang muncul, dan melaksanakan program-program pembangunan. "Kalau tidak mumpuni, ya jangan mencalonkan diri dong," ucapnya. 

Pada Selasa (17/1/2023) lalu, ratusan kades menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun lewat revisi UU Desa. 

Pada hari yang sama, Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menemui Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta. Usai bertemu, Budiman menyebut Presiden Jokowi setuju dengan tuntutan memperpanjang masa jabatan kades menjadi sembilan tahun itu. 

Kemarin, Senin (23/1/2023), Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mengusulkan agar masa jabatan kades diperpanjang jadi sembilan tahun dengan maksimal tiga periode. Dengan begitu, seorang kades bisa menjabat selama 27 tahun. Untuk diketahui, UU Desa saat ini mengatur masa jabatan kades enam tahun dengan maksimal tiga periode, sehingga total 18 tahun.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement