Kamis 26 Jan 2023 19:20 WIB

Soal Sistem Pemilu, Sikap Jokowi Ternyata Berbeda dengan Keinginan PDIP

Presiden meminta MK memutuskan proporsional terbuka tidak bertentangan dengan UUD.

Warga meneliti daftar caleg pada Pemilu 2014. Sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka untuk pemilu legislatif. (ilustrasi)
Foto: AP Photo/Firdia Lisnawati
Warga meneliti daftar caleg pada Pemilu 2014. Sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka untuk pemilu legislatif. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Antara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pernyataan sikap yang berbeda dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) soal sistem pemilu. Dalam sidang gugatan uji materi sistem pemilihan legislatif (pileg) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/1/2023), Jokowi menyatakan, perubahan sistem pemilu di saat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan politik.

Baca Juga

Keterangan resmi Presiden Jokowi disampaikan lewat kuasa hukumnya, Menkumham Yasonna Laoly dan Mendagri Tito Karnavian. Keterangan itu dibacakan oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar.

Dalam bagian petitumnya, Presiden meminta MK memutuskan Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka, tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan masih punya kekuatan hukum mengikat. Artinya, Presiden meminta MK menolak permohonan penggugat agar sistem pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Dalam keterangannya, Presiden mengatakan proses penyelenggaraan Pemilu 2024 saat ini sedang berjalan. Jika MK memutuskan merubah sistem pileg di tengah tahapan seperti saat ini, dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak.

"Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai politik maupun di tingkat masyarakat," kata Bahtiar.

Presiden juga menyampaikan sejumlah alasan lain mengapa gugatan uji materi sistem proporsional terbuka ini perlu ditolak. Pertama, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka turut mengacu kepada putusan MK pada 2008.

Kedua, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka merupakan hasil musyawarah lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah. Pilihan itu dibuat dengan mempertimbangkan kondisi objektif bahwa transisi demokrasi Indonesia memerlukan penguatan sub sistem politik dalam berbagai aspek.

Ketiga, Presiden membantah anggapan penggugat bahwa sistem proporsional terbuka mengecilkan kewenangan partai politik dalam menentukan caleg maupun nomor urutnya. Anggapan tersebut tidak tepat karena partai politik tetap berwenang menentukan caleg di semua daerah pemilihan.

Keempat, Presiden beranggapan bahwa Pasal 168 UU Pemilu masih relevan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kelima, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka adalah kebijakan terbuka atau open legal policy lembaga pembentuk undang-undang

Kendati begitu, Presiden mengakui diperlukan perbaikan sistem pemilu ke depannya. Harus dicari sistem alternatif yang bisa menutupi kelemahan sistem proporsional terbuka maupun tertutup.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.

Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement