REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki mengecam sekelompok negara Barat yang menutup sementara konsulatnya di Istanbul karena masalah keamanan. Ankara menuduh mereka mengobarkan perang psikologis dan berusaha menghancurkan industri pariwisata.
Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu mengatakan pada Kamis (2/2/2923), penutupan konsulat dan peringatan perjalanan adalah bagian dari rencana Barat untuk mencegah kebangkitan sektor pariwisata Turki setelah pandemi. "Pada hari ketika kami menyatakan tujuan kami untuk (menarik) 60 juta wisatawan, pada saat 51,5 juta wisatawan tiba dan kami memperoleh pendapatan pariwisata sebesar 46 miliar dolar AS, mereka hampir memulai perang psikologis baru (melawan) Turki," ujarnya.
Jerman, Belanda, dan Inggris termasuk di antara negara-negara yang menutup konsulat di Turki pekan ini. Kedutaan Besar Jerman mengutip risiko kemungkinan serangan balasan setelah insiden pembakaran Alquran di beberapa negara Eropa. Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain mengeluarkan peringatan perjalanan yang mendesak warganya untuk berhati-hati.
Soylu mengatakan, Turki telah melakukan sebanyak 60 operasi terhadap ISIS sepanjang tahun ini dan menahan 95 orang. Tahun lalu, hampir 2.000 tersangka ISIS ditahan dalam lebih dari 1.000 operasi terhadap kelompok tersebut.
Awal pekan ini, Kementerian Dalam Negeri Turki mengatakan, pihak berwenang telah menahan sejumlah tersangka menyusul peringatan dari negara sahabat. Namun operasi ini belum menemukan senjata, amunisi, atau tanda-tanda tindakan kekerasan yang direncanakan.
Sebuah pengeboman terjadi di Istiklal Avenue yang ramai di Istanbul pada November tahun lalu. Area ini terletak di jantung kota dan dekat sejumlah konsulat asing, menewaskan enam orang dan melukai beberapa lainnya. Pihak berwenang Turki menyalahkan serangan itu pada milisi Kurdi.