REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai penggunaan kembali sistem proporsional tertutup dalam pemilihan legislatif (pileg) bakal memunculkan praktik politik uang yang bersifat struktural. Hal ini disampaikan PKS ketika memberikan keterangan sebagai pihak terkait perkara uji materi sistem proporsional terbuka dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
DPP PKS lewat anggota tim kuasa hukumnya, Faudjan Muslim, mengatakan, politik uang sebenarnya dapat terjadi dalam sistem proporsional terbuka maupun tertutup. Hanya saja, politik uang yang terjadi bersifat struktural dalam sistem proporsional tertutup.
Menurutnya PKS, sistem proporsional tertutup memberikan kewenangan penuh kepada pimpinan parpol untuk menentukan kandidat yang akan duduk sebagai anggota dewan. Alhasil, kandidat bisa saja tergiur menyerahkan sejumlah uang kepada pimpinan parpol agar ditetapkan sebagai anggota dewan.
"Oleh karena itu, anggapan sistem proporsional tertutup bisa menekan politik uang adalah argumen tidak berdasar. Bahkan dalam sistem proporsional tertutup politik uang dapat terjadi, yaitu terbukanya peluang politik uang kepada pengurus partai," kata Faudjan di hadapan majelis hakim, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/2/2023).
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos parpol. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut calon anggota legislatif (caleg) yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Kelemahan sistem ini menurut pakar adalah memerkuat kuasa elite partai.
Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun parpolnya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi anggota dewan. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019. PKS mengatakan, para pakar menilai kelemahan sistem ini adalah maraknya praktik politik uang dari caleg kepada pemilih.
Sistem proporsional terbuka ini sebenarnya bakal digunakan kembali dalam Pemilu 2024. Namun, enam warga negara perseorangan pada akhir tahun 2022 lalu mengajukan gugatan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka.
Para penggugat, yang salah satunya merupakan kader PDIP, meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. MK masih mendengarkan keterangan dari sejumlah pihak terkait, baik partai politik maupun perseorangan, sebelum membuat keputusan atas perkara ini.