Ahad 23 Apr 2023 14:15 WIB

Mudik Jadi Momentum Healing

Ada dimensi afeksi yang sangat kuat yang terkait dengan tradisi mudik.

Sejumlah pemudik berjalan di dekat bus saat pelepasan program Mudik Bersama BUMN 2023 di Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (18/4/2023). Sebanyak 78.017 pemudik mengikuti program Mudik Bersama BUMN 2023 yang bertajuk Mudik Dinanti Mudik di Hati yang merupakan salah satu implementasi bakti BUMN sebagai bentuk Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pemudik berjalan di dekat bus saat pelepasan program Mudik Bersama BUMN 2023 di Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (18/4/2023). Sebanyak 78.017 pemudik mengikuti program Mudik Bersama BUMN 2023 yang bertajuk Mudik Dinanti Mudik di Hati yang merupakan salah satu implementasi bakti BUMN sebagai bentuk Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK - Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Dr Ngatawi Al Zastrouw mengatakan mudik momentum healing masyarakat desa yang melakukan urbanisasi ke kota, karena tidak dapat melepas budaya desa yang guyub.

"Mereka rindu kampung halaman yang menyimpan banyak kenangan dan rindu sanak keluarga. Upaya melepas rindu ini menemukan momentumnya pada saat Idul Fitri," kata Ngatawi Al Zastrow di Kampus UI Depok, Selasa (18/4/2023).

Urbanisasi besar-besaran inilah yang menjadi pemicu lahirnya budaya mudik pada saat Hari Raya Idul Fitri dengan adanya dimensi efektif atau rasa.

Ia menambahkan peristiwa mudik ini tidak saja terkait dengan masalah komunikasi yang dapat digantikan dengan teknologi. Ada dimensi afeksi yang sangat kuat yang terkait dengan tradisi mudik.

"Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan, meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekalipun," ujar Zastrouw.

Tradisi mudik dapat bertahan karena memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat. Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari ditambah kerasnya kehidupan masyarakat di perkotaan, mulai dari kemacetan, polusi, serta kesenjangan, menjadikan mudik sebagai pilihan terapi psikologis.

Menurut Zastrouw, dibutuhkan momentum untuk kanalisasi emosi sekaligus katarsis atas kejenuhan masyarakat modern urban. Selain aspek budaya dan agama, mudik merupakan sebuah aktivitas traveling.

"Dengan kata lain, tradisi mudik menjadi momentum healing masyarakat modern. Inilah yang membuat tradisi ini tidak luntur digerus arus modernisasi, karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi," ujar Zastrouw.

Menurutnya, mudik menjadi tradisi yang lazim bagi sebagian masyarakat dunia. Di Korea Selatan, misalnya, tradisi mudik dilakukan saat perayaan Chuseok yang merupakan festival musim panas Hangawi di tengah musim gugur.

Di Amerika Serikat, mudik terjadi saat perayaan Thanksgiving yang dirayakan pada Kamis minggu keempat November. Sementara Cina, setiap Tahun Baru Imlek, warga mudik dengan istilah Chunyun. Kemudian Indonesia mudik jelang perayaan Idul Fitri.

Tradisi mudik ini bahkan telah dikenal sejak zaman Majapahit, di mana masyarakat pendatang di suatu daerah kembali ke kampung halaman saat perayaan tertentu.

Saat ini, kata dia, tradisi mudik ini diteruskan oleh para pendatang yang tinggal di kota-kota besar untuk pulang ke kampung halaman guna silaturahmi dan merayakan Idul Fitri bersama keluarga.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement