REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Momentum perayaan Idul Fitri adalah saat bagi umat Islam di seluruh dunia untuk bergembira setelah menunaikan beragam amalan di bulan Ramadhan. Di dalam kegembiraan yang merupakan karunia dan rahmat tersebut, terselip nilai ibadah.
Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk bergembira, maka kita wajib bergembira. Jangan sampai kita melihat ada orang yang bersedih atau ada kegundahan.
"Mari tengok orang-orang terdekat, sehingga kita mesti menciptakan kegembiraan bagi lingkungan," kata K.H. Mochammad Bukhori Muslim dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Masjid Agung At Tin, Jakarta, Sabtu (22/4/2023).
Setelah satu bulan menjalankan berbagai amalan, umat Islam menyambut kesucian hari raya dengan mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil membesarkan asma Allah.
Melalui takbir, manusia mengagungkan zat yang Maha Besar dan Maha Mulia dari semua yg ada di alam raya. Kalimat takbir nan mulia itu hanya pantas diucapkan untuk saat yang mulia pula, seperti panggilan menunaikan shalat dan berjihad.
Hanya saja, saat ini kita mendengar ada orang-orang yang salah dalam menempatkan kalimat takbir. Orang demo merusak memakai takbir atau melempar batu dengan takbir. Bahkan, ada juga yang merusak mobil memakai takbir. Seharusnya takbir dilakukan di tempat dan waktu yang mulia.
Lewat lantunan takbir, umat Islam merayakan kegembiraan saat Idul Fitri. Mereka yang berpuasa selama satu bulan,merasa bergembira dan bersyukur karena kelak saat bertemu Sang Pencipta, amalan puasa tersebut turut menemani.
Salah satu kegembiraan pada Idul Fitri adalah momentum bertemu dengan keluarga dan orang-orang terdekat. Sebab sebanyak apapun kekayaan atau setinggi apapun jabatan serta sehebat apapun seseorang, tidak akan sempurna tanpa kebahagiaan saat berkumpul dengan orang-orang terkasih.
Upaya untuk selalu menyempurnakan kebahagiaan itulah yang menjadikan orang-orang Indonesia terbiasa melakukan mudik saat libur Lebaran untuk bertemu keluarga.
Bahkan bila nanti kita masuk surga, tapi tidak bertemu keluarga, tentu tidak merupakan kenikmatan. Allah SWT memberikan isyarat bahwa mereka yang bergembira mendapatkan kesudahan tempat sangat baik, yaitu surga "Adn" dan masuk bersama orang-orang saleh dari golongan bapak, istri, dan cucu-cucunya.
Memakmurkan negeri
Umat Islam di Indonesia patut bersyukur dapat melakukan Shalat Idul Fitri dan perayaan lainnya dalam kondisi damai dan sentosa. Betapa banyak orang yang hidup di dalam negeri yang tengah berperang atau tidak aman.
Kondisi tidak aman itu, seperti di Sudan saat ini. Keadaan tidak nyaman itu kini juga dirasakan oleh mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di negara itu. Mari kita doakan seluruh mahasiswa kita yang sedang menyembunyikan diri karena perang saudara itu agar diberi selamat oleh Allah.
Berpijak dari itu, sebagai bagian dari negara, maka umat Islam mesti berkontribusi bagi bangsanya untuk ikut memakmurkan negeri. Sebuah negeri akan aman, damai, indah, dan makmur layaknya taman yang indah bila lima hal terpenuhi.
Kelima hal tersebut adalah hadirnya ulama berilmu, pemimpin yang adil, masyarakat yang mau mendoakan penguasa, para pedagang yang jujur dan amanah, serta para pekerja yang loyal dan tidak berbohong.
Ulama yang baik adalah memberi contoh, tidak boleh diam atau dengki kepada sesama. Pemimpin yang adil tentu tidak boleh curang atau pilih kasih serta berbuat kezaliman, sedangkan masyarakat tidak boleh beribadah untuk tujuan pamer. Adapun pedagang yang baik pasti amanah dan tidak khianat.
Tiga lulusan Ramadhan
Bulan suci Ramadhan itu menjadi semacam pesantren kilat bagi setiap orang Islam. Hasilnya, ada tiga tipikal lulusan Ramadhan, yaitu orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan selama sebulan penuh ibadah, orang-orang yang hanya menggugurkan kewajiban, dan orang-orang yang tidak menyukai hadirnya bulan suci.
Lulusan pertama menghabiskan waktu dengan tarawih, mengaji, sedekah, tidak mencaci orang, dan menjaga semua indera. Lulusan kedua adalah orang yang pas-pasan, hanya rajin beribadah saat awal Ramadhan dan kendur pada pertengahan hingga akhir bulan, sedangkan lulusan ketiga, mereka yang merasa risih dengan bulan puasa dan kerap berkomentar macam-macam.
Meski begitu, hanya karena kasih sayang dan kelembutan Allah SWT kepada semua hambanya, maka ketiga golongan dengan amalan berbeda tersebut masih mendapatkan kegembiraan di momen Idul Fitri.
Mereka yang saleh, pas-pasan, atau zalim, semua boleh ikut Idul Fitri. Karena itu, momentum ini menjadi introspeksi diri agar mampu menjadikan semangat ibadah saat Ramadhan bisa diterapkan pada bulan-bulan lainnya.
Semangat yang ditumbuhkan dari bulan Ramadhan dapat melahirkan insan mukmin sejati. Ciri mukmin sejati adalah layaknya lebah yang hanya mengonsumsi hal-hal baik dan menghasilkan kebaikan pula.
Di mana pun lebah hinggap, dia tidak pernah merusak. Karena itu, mukmin sejati tidak pernah menyakiti orang lain. Penting sekali menanamkan nilai bahwa sebagai mukmin harus mencari makan dengan cara yang baik, dari rezeki yang baik, sehingga hasilnya akan baik juga.
Momentum Idul Fitri yang penuh berkah dan rahmat adalah saat paling tepat bagi umat Islam untuk saling memaafkan antarsesama, menghilangkan rasa dendam atau permusuhan agar kualitas kehidupan menjadi lebih baik, tenteram, dan bermakna.
Kita berharap semoga Idul Fitri mampu menumbuhkan semangat untuk menjaga kesucian dari dosa dan kemaksiatan, setelah sebulan penuh beribadah dan menyucikan diri melalui berbagai amalan.
Selain itu, makna Idul Fitri juga menjadi perekat guna membangun karakter bangsa berlandaskan nilai-nilai agama yang mulia, berbudi pekerti luhur, penuh kasih sayang, serta semangat kesatuan dan persatuan.
Kebersamaan saling asah, asih, dan asuh antarsesama, menjadi upaya menciptakan masyarakat yang maju, sejahtera, dan berakhlak mulia menuju negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.