REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Polisi Bangladesh menembakkan peluru karet dan gas air mata ke pendukung partai oposisi yang melempar batu memblokir jalan-jalan utama di Ibu Kota Dhaka. Mereka menuntut perdana menteri mengundurkan diri.
Pendukung Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) pada Sabtu (29/7/2023) membakar bus dan meledakkan bom molotov. Mereka menuntut agar Perdana Menteri Sheikh Hasina mundur dari pemilihan berikutnya, yang diperkirakan awal tahun depan, digelar di bawah pemerintahan sementara yang netral.
Pemimpin BNP, Khaleda Zia dipenjara pada 2018 atas tuduhan korupsi. Sejak itu, BNP telah mengadakan unjuk rasa, termasuk protes besar-besaran dalam beberapa bulan terakhir. Unjuk rasa ini menarik puluhan ribu pendukung di tengah kemarahan tentang biaya hidup.
Pada Sabtu, BNP mengatakan puluhan pendukungnya terluka. Sementara polisi mengatakan sedikitnya 20 petugas terluka dalam bentrokan itu. Sedikitnya 90 orang ditangkap, sementara dua pemimpin senior BNP ditahan polisi dan kemudian dibebaskan. Pemimpin senior BNP, Abdul Moyeen Khan mengecam tindakan polisi itu sebagai ketidakadilan.
“Tindakan yang merajalela hari ini hanya menegaskan sifat otokratis dari rezim yang berkuasa dan sepenuhnya mengungkap motif mereka untuk tetap berkuasa melalui pemilihan yang curang,” kata Khan kepada kantor berita Reuters.
Khan menambahkan polisi berusaha membatasi hak dasar berserikat. Sementara itu, juru bicara Kepolisian Metropolitan Dhaka, Faruq Ahmed mengatakan, pasukan polisi diserang tanpa alasan apapun. Polisi menembakkan gas air mata untuk mengendalikan situasi.
“Kami harus menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk mengendalikan situasi,” kata Ahmed.
Aljazirah melaporkan, ketegangan berlangsung di jalan-jalan. Partai Liga Awami yang berkuasa menyerukan protes balasan pada Ahad (30/7/2023), sementara oposisi menyerukan mobilisasi yang lebih luas pada Senin (31/7/2023). Para pengunjuk rasa juga menuduh pemerintah melakukan pemilihan dengan curang pada 2014 dan 2018.
Juru kampanye regional untuk Asia Selatan di Amnesty International, Yasasmin Kaviratne mengatakan, meningkatnya ketegangan di Bangladesh sangat mengkhawatirkan. Dia meminta polisi untuk menahan diri dengan tidak menyerang para pengunjuk rasa.
“Orang-orang harus bebas untuk memprotes dan berbeda pendapat. Dengan meredam suara mereka, pemerintah memberi isyarat bahwa memiliki pandangan politik yang berbeda tidak dapat ditoleransi di dalam negeri,” kata Kaviratne
Sementara itu, anggota parlemen Liga Awami, Tanvir Shakil Joy menolak tuduhan penggunaan kekuatan yang berlebihan. “BNP dan partai afiliasinya membakar lebih dari tujuh bus dan memblokir jalan raya, kemudian polisi mengambil tindakan karena tidak ada partai politik yang dapat melanggar hak gerak rakyat jelata,” kata Joy.
Perdana Menteri Hasina, yang mempertahankan kontrol ketat sejak berkuasa pada 2009, dituduh melakukan otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, menindak kebebasan berbicara dan menekan perbedaan pendapat. Hasina juga dituduh telah memenjarakan para pengkritiknya.