Senin 02 Oct 2023 17:27 WIB

Empat Hakim Dissenting Opinion, MK Tetap Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja

MK beralasan lahirnya UU Cipta Kerja sudah sesuai dengan konstitusi di Indonesia.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman meninggalkan ruangan usai memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang di di Gedung MK, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman meninggalkan ruangan usai memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang di di Gedung MK, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian materi Undang-Undang Cipta Kerja. Pengujian ini dilayangkan oleh sejumlah kelompok buruh.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan pada Senin (2/10/2023) sore.

Baca Juga

Hakim MK Daniel Yusmic menjelaskan alasan menolak permohonan tersebut karena dinilai tidak beralasan. Daniel menyebut lahirnya UU Cipta Kerja sudah sesuai dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar hakim MK Guntur Hamzah.

Selain itu, MK menegaskan berdasarkan Pasal 43 ayat (4) angka 2 UU 12/2011 pada pokoknya menyatakan penetapan Perppu menjadi undang-undang tidak perlu disertai dengan naskah akademik. Dengan demikian, pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu terdiri atas tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan dan pengundangan tanpa tahap perencanaan.

"Berdasarkan kerangka hukum tersebut, maka rangkaian tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu adalah hanya terdiri dari tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan dan pengundangan tanpa tahap perencanaan," ujar hakim MK Manahan Sitompul.

Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim MK. Hanya saja, empat hakim MK menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat. Keempat orang hakim MK itu ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartono.

Hanya saja, perbedaan pendapat itu tidak dibacakan langsung Anwar Usman yang memimpin jalannya sidang. Sehingga publik belum mengetahui isi perbedaan pendapat tersebut. "Dianggap dibacakan," ujar Anwar.

Putusan yang dibacakan majelis hakim berkaitan dengan lima gugatan yaitu untuk perkara nomor 40 (dimohonkan Persatuan Pegawai Indonesia Power, Federasi Serikat Pekerja Indonesia, SP PLN, Federasi SP KEP SPSI, dan Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi), 41(Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia), 46 (Serikat Petani Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, Konsorsium Pembaruan Agraria), 50 (Partai Buruh), dan 54 (Wiwit Widuri Dkk) PUU-XXI tahun 2023.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement