REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis berusaha bungkam gerakan pro Palestina seusai Hamas menggelar serangan mendadak ke Israel. Sebagai balasan atas serangan tersebut Israel membombardir dan memberlakukan blokade yang mencegah makanan, bahan bakar, dan obat-obatan ke Gaza.
Upaya melarang Collectif Palestine Vaincra dan Comite Action Palestine ditolak pengadilan yang lebih tinggi. Pengadilan mengatakan posisi mereka yang "berani, bahkan kejam" tidak termasuk dalam ujaran kebencian atau terorisme.
Menteri Dalam Negeri Prancis Gérald Darmanin mengumumkan ia telah memulai proses hukum atas tuduhan "antisemitisme, permintaan maaf atas terorisme dan dukungan terhadap Hamas" terhadap 11 organisasi, termasuk Collectif Palestine Vaincra dan Comite Action Palestina. Keduanya menyangkal tuduhan tersebut.
Pada Rabu (18/10/2023) dalam merespons banding terhadap instruksi Darmanin, pengadilan mengatakan pihak berwenang setempat harus melarang protes berdasarkan kasus per kasus.
Pihak berwenang Paris mengizinkan aksi protes pada Kamis (19/10/2023) malam pada menit-menit terakhir setelah pengadilan membatalkan keputusan untuk melarangnya.
Dalam sebuah memo mengenai salah satu rangkaian protes oekan lalu, badan intelijen Prancis mengatakan protes tersebut akan menarik "elemen-elemen radikal dari kelompok ultra-kiri, yang dekat dengan gerakan-gerakan Islamis, dan anak-anak muda dari lingkungan-lingkungan yang sensitif".
Demonstran dalam protes yang dilarang di Paris pekan lalu mengatakan langkah pemerintah untuk mencegah pertemuan bagi warga Palestina tidak adil namun tidak mengejutkan.
"Pemerintah memanjakan diri dalam hal kejahatan Israel. Mereka bersikap bias dan mereka menunjukkannya," kata seorang juru masak berusia 32 tahun Hortense La Chance.