REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat politik Citra Institute Efriza berbicara soal anggapan ketidak netralan Polri dalam pilpres 2024. Dia menjelaskan, bahwa Polri sudah punya aturan mengenai larangan untuk terlibat dalam politik praktis yang sudah diatur dalam Undang-undang.
Bahkan, Kapolri sudah menerbitkan surat telegram bahwa netralitas Polri mesti dijadikan pedoman untuk seluruh anggota.
"Ketidakikutsertaan Polri dalam kegiatan politik praktis sudah diatur dalam UU No 2/2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia," kata Efriza dalam keterangannya kepada wartawan.
"Bahkan, Kapolri sudah menerbitkan telegram Nomor 2407/X/2023 tentang netralitas Polri dalam pemilu yang dijadikan pedoman seluruh anggota Polri, terkait hal-hal mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kegiatan pengamanan pemilu," sambungnya.
Efriza pun khawatir jika tudingan ketidaknetralan terhadap Polri justru tidak berdasarkan fakta dan hanya untuk mendongkrak simpatik publik.
"Apalagi jika akhirnya tudingan kecurangan menyasar banyak institusi negara tanpa disertai bukti-bukti nyata, ini menunjukkan langkah tersebut bukanlah tindakan yang pas dilakukan," ujarnya.
Efriza menambahkan, isu netralitas sebenarnya adalah hal baik yang disampaikan ke publik karena termasuk bagian dari pendidikan politik. Namun, jika hanya sekadar dari isu ke isu untuk sekadar meningkatkan simpatik publik terhadap partai, hal itu malah membuat masyarakat bisa balik memberikan persepsi negatif.
"Partai itu dianggap sekadar mencari panggung semata, mencari perhatian publik semata, ini malah blunder," katanya.
Lebih lanjut, Efriza mengatakan, situasi saling tuding seperti ini layaknya politik yang menyandera antara salah satu partai dengan institusi lain.
"Bukan malah saling mengaburkan dan terkesan tidak ada kepercayaan akan antar institusi. Terkesan bukan sekadar khawatir proses pemilu akan terjadi kecurangan malah menuding kecurangan ini sedang berproses," ujarnya.