Jumat 08 Mar 2024 10:59 WIB

Im57+ Institute Desak KPK Segera Tahan Mantan Wamenkumham

Prof Eddy dan Helmut sudah memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
 Logo KPK serta lambang Burung Garuda di ruang tunggu Gedung KPK, Jakarta Selatan, Ahad (19/2).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Logo KPK serta lambang Burung Garuda di ruang tunggu Gedung KPK, Jakarta Selatan, Ahad (19/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute mendesak KPK agar menerapkan upaya paksa dalam kelanjutan kasus dugaan korupsi mantan Wamenkumham Edward (Eddy) Omar Sharif Hiariej. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menahan Eddy. 

Hal itu disampaikan Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha menanggapi KPK yang berencana menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru bagi Eddy dan mantan Dirut PT Citra Lampia Mandiri Helmut Hermawan. Prof Eddy dan Helmut sudah memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK.

Baca Juga

Dengan begitu, penetapan status tersangka terhadap keduanya dicabut hingga KPK menerbitkannya lagi. "KPK perlu mempertimbangkan langkah-langkah upaya paksa untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum berjalan dalam koridor yang lurus. Segera lakukan penahanan," kata Praswad saat dikonfirmasi Republika.co.id di Jakarta pada Jumat (8/3/2024). 

Praswad menilai, upaya penahanan penting agar Eddy tak menggunakan kekuatannya untuk mempengaruhi kasus tersebut. Praswad khawatir, Eddy masih punya pengaruh meski tak lagi sebagai Wamenkumham. 

"Hal tersebut juga mencegah adanya upaya pengaturan alat bukti dan strategi-strategi membenturkan antara KUHAP dan UU KPK," ujar Praswad. 

Oleh karena itu, Praswad mendorong, KPK tak perlu menunggu lama lagi untuk mentersangkakan Eddy lagi. Dengan demikian, perkara tersebut diharapkan segera masuk ke meja hijau.

"Segera tetapkan wamenkumham kembali sebagai tersangka dan langsung limpahkan ke pengadilan," ucap Praswad. 

Selain itu, Praswad menekankan, UU KPK berlaku lex specialis kepada lembaga penegak hukum adhoc tersebut. Sehingga hakim tidak bisa menggunakan logika mengumpulkan bukti pada proses penyidikan di KUHAP diterapkan kepada penyidik KPK.

"Perlu dipahami bersama bahwa putusan praperadilan sebelumnya bermasalah karena apabila menggunakan logika tersebut," ujar Praswad. 

Hakim tunggal PN Jaksel Estiono diketahui menerima permohonan praperadilan yang diajukan oleh Prof Eddy dalam sidang pada Selasa (30/1/2024). Estiono memutuskan penetapan tersangka oleh KPK terhadap Prof Eddy tidak sah.

Awalnya, Prof Eddy ditetapkan tersangka bersama 'orang dekatnya' Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Arie Rukmana. Mereka diduga menerima suap dari tersangka mantan Dirut PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan senilai Rp 8 miliar.

Dalam perkara tersebut, Prof Eddy dua kali mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangkanya. Dalam praperadilan pertama, Prof Eddy mencabutnya untuk diperbaiki. Dalam permohonan kedua, ia mengajukan permohonan sendiri atau tanpa Yosi dan Yogi sebagai sesama tersangka.

Kekalahan KPK terjadi lagi setelah hakim tunggal PN Jaksel Tumpanuli Marbun menerima gugatan praperadilan Dirut PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan untuk sebagian pada akhir bulan lalu. Tumpanuli memutuskan penetapan tersangka Helmut oleh KPK tidak sah.

Helmut semula ditersangkakan sebagai penyuap Prof Eddy. Seperti halnya Prof Eddy, itu juga permohonan praperadilan kedua oleh Helmut. Helmut sempat mengajukannya, namun dicabut belakangan. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement